Thursday, September 11, 2014

KEWAJIBAN MENEGAKKAN HUKUM ALLAH

Riedho Poetra Melayoe

KEWAJIBAN MENEGAKKAN
HUKUM ALLAH

Nadirsyah Hosen

Barang siapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang
kafir. (Al-Ma'idah:5:44)
Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang
zalim. (Al-Ma'idah:5:45)
Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang
fasik. (Al-Mai'dah:5:47)
ASBABUN NUZUL

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, ia berkata: Bahwasanya Allah
menurunkan tiga ayat di atas ditujukan
kepada dua golongan dari kaum Yahudi.
Pada zaman Jahiliyah, salah satunya
menundukkan yang lain. Dan akhirnya
mereka sepakat bahwa hukuman orang
bangsawan yang membunuh rakyat
jelata adalah 50 gantang, sedang
hukuman rakyat jelata yang
membunuh kaum bangasawan adalah
100 gantang. Begitulah sampai
kedatangan Nabi Muhammad SAW di
Madinah. Keduanya akhirnya membuat
perjanjian damai dengan Nabi.
Tak lama kemudian timbul satu kasus,
seorang rakyat jelata membunuh
seorang bangsawan. Lalu bangsawan
yang lain diutus kepada rakyat jelata
tadi, ia berkata: Berikan kepada kami
100 gantang, si rakyat jelata,
menjawab," Apakah ada
keistimewaan?, kedua golongan kita
agamanya satu, nasab kita satu, negeri
kita satu; Kenapa diat sebagian mereka
separoh dari sebagian lainnya?
Sesungguhnya kami telah
menyerahkan kezaliman dan
diskriminasi kepada kalian. Jikalau
Muhammad datang, maka kami tidak
akan memberikannya kepada kalian".
Hampir saja terjadi perang antara dua
golongan (Yahudi) tersebut, lalu kedua
golongan sepakat untuk menjadikan
Rasulullah sebagai penengah mereka.
Bangsawan berkata: Demi Allah,
Muhammad bukanlah orang yang telah
memutuskan suatu yang lemah
sebagaimana kalian memutuskan.
Perkataan Bangsawan ini dibenarkan
mereka. Bangsawan berkata: sungguh
apa yang telah kami putuskan adalah
suatu kelaliman dan penaklukan atas
mereka. Selundupkan seseorang yang
mengetahui pendapat Muhammad. Jika
Ia memberikan keputusan yang seperti
yang yang kalian kehendaki, maka
jadikanlah ia penengah, tapi jika ia
memutuskan yang lain maka janganlah
kalian jadikan dia penengah. Kemudian
mereka menyelundupkan orang
munafik untuk memberitahu kepada
mereka pendapat Rasulullah. Ketika
orang-orang munafik tadi sampai
kepada Rasul, maka Allah
memberitahukan tentang urusan
mereka semuanya serta apa
sebenarnya yang mereka kehendaki.

PENJELASAN
Terdapat perbedaan pendapat
dikalangan Ulama tentang penafsiran
ayat di atas. Fakhr ar- Razi, misalnya,
menyatakan ada dua hal utama dalam
memahami ayat-ayat di atas: Pertama,
bahwa yang dimaksud firman Allah di
atas adalah ancaman terhadap orang
Yahudi atas keberanian mereka
mengingkari hukum Allah yang telah
dinashkan dalam Taurat, mereka
berkata: Itu tidak wajib. Karena itulah
mereka menjadi kafir secara mutlak.
Mereka tidak berhak lagi menyandang
gelar "iman", tidak berhak atas Musa
dan Taurat, serta tidak berhak pula
atas Muhammad dan Al-Qur'an.
Kedua, Kaum Khawarij berpendapat
bahwa setiap orang yang bermaksiat
kepada Allah, maka ia kafir. sedangkan
Jumhur berpendapat bahwa ayat
tersebut merupakan ancaman bagi
orang yang tidak berhukum dengan
hukum Allah, maka ia menjadi kafir,
zalim, dan fasik.

Dua hal utama di atas dibahas oleh
para mufassir klasik. Berikut ini ikhtisar
pendapar para mufassir :
1) Sebagian Mufassir sepakat bahwa
ayat ini khithabnya khusus. Tetapi
mereka berbeda pendapat dalam
menafsirkan kekhususannya. Ada yang
berpendapat ayat ini untuk orang
Yahudi semata. Pendapat ini didukung
oleh Abdullah bin Abdullah bin Utbah
bin Mas'ud. Hasan Basri berkata bahwa
ayat tersebut ditujukan kepada orang
Yahudi, tapi bagi muslim tetap wajib
berhukum pada apa yang diturunkan
Allah (bi ma anzal Allah). Ibnu Mansur,
Abu Syekh, dan Ibnu Marduwaih
meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa
ayat tersebut diturunkan Allah khusus
untuk orang Yahudi. Mufassir yang lain
berpendapat bahwa ayat tersebut
untuk Ahli Kitab yakni Yahudi dan
Nasrani.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Sholeh
bahwa tiga ayat surat Al-Maidah
tersebut tidak berlaku atas kaum
muslimin, tapi untuk orang kafir, yakni
Ahli Kitab. Ibnu Abbas berkata: Sebaik-
baik kaum adalah kalian, apa yang baik
itu bagi kalian, sedang apa yang buruk
itu adalah buat ahli Kitab. Barangsiapa
menentang hukum Allah sungguh ia
telah kafir dan barangsiapa tidak
berhukum dengan hukum Allah, maka
ia telah berbuat zalim dan fasik. Ada
yang berpendapat bahwa ketiga ayat
tersebut memang bersifat khusus
tetapi konteks ketiga ayat itu berbeda.
Asy-Sya'bi, misalnya, ia berkata:
Julukan kafir itu bagi orang Islam, zalim
bagi orang Yahudi, dan fasik bagi orang
Nasrani. Al-Zamakhsyari berkata
bahwa tiga sifat yang dinisbatkan
kepada orang kafir (Ahli Kitab)
menunjukkan penghinaan terhadap
mereka karena mereka melampaui
batas dalam kekufuran mereka,
perbuatan zalim mereka terhadap
ayat-ayat mereka dengan ejekan dan
keengganan mereka lalu mereka
berhukum dengan selainnya. Ada juga
yang berpendapat bahwa sifat kufur itu
maksudnya adalah kufur nikmat.
Fakhr ar-Razi menyatakan bahwa
pendapat tentang ayat-ayat di atas
berlaku khusus adalah lemah. Pertama:
bertentangan dengan kaedah "al-'Ibrah
bi 'umum al-lafdzi, la bi khushus al-
sabab". Kedua, pendapat ini juga lemah
sebab firman di atas memakai kata
man yang menunjukkan sifat umum
(sebagai syarat).

2) Sebagian mufassir berpendapat
bahwa ayat di atas umum. Tetapi itu
tidak berarti jika seorang muslim maka
ia menjadi kufur. Thawus, misalnya,
berkata: Ia tidak kafir seperti kafirnya
orang yang pindah agama dan seperti
orang kafir yang ingkar kepada Allah
dan hari kebangkitan. Atha'
berpendapat senada: muslim yang
demikian menjadi kufur tetapi tidak
kafir secara hakiki. Mereka seolah-olah
menafsirkan yang dimaksud dengan
kafir, zalim dan fasik adalah kafir, zalim
dan fasik terhadap nikmat. Pengarang
Tafsir Ruh al-Ma'any menjelaskan
bahwa Abu Hamid dan lainnya
meriwayatkan dari asy-Sya'bi, ia
berkata tiga ayat di atas dapat
dibedakan. Yang pertama (5:44) berlaku
bagi muslim, sedangkan dua ayat
berikutnya (5:45;47) Yahudi dan
Nasrani, bahwa jika kufur tersebut
dinisbatkan pada orang mukmin
diartikan ancaman dan sikap keras.
Tetapi jika sifat fasik dan kufur
dinisbatkan pada orang kafir, hal itu
berarti menunjukkan keingkaran dan
keluarnya mereka dari hukum Allah.
Riwayat lain, yaitu Hakim, Abdur Razak,
Ibn Jarir dari Khuzaifah bahwa tatkala ia
membacakan ayat di atas, tiba-tiba
seorang laki-laki berdiri dan berkata:
Ayat tersebut diperuntukkan untuk
Bani Israel, lalu Huzaifah berkata:
Sebaik-baik saudara adalah Bani Israel,
jika kalian bahagia mereka susah.
Perkataan Huzaifah di atas ditafsirkan
sebagai kecenderungannya akan
umumnya ayat tersebut. Ali Ibnu Husain
meriwayatkan dengan pendapat
umumnya ayat tersebut, tapi ia
berkomentar: Kufur di atas bukan
berarti kufur syirik, fasik bukanlah fasik
syirik, dan zalim bukanlah zalimnya
syirik.

Pendapat yang paling kuat menurut
Fakh ar-Razi adalah pendapat Ikrimah
bahwa ayat tersebut umum bagi setiap
orang yang ingkar dalam hatinya dan
menentang dengan lisannya. Penulis
sependapat dengan Ikrimah, tetapi
persoalannya bagaimana dengan
konteks keindonesiaan.
Untuk menjawab ini, penulis merasa
bahwa kita perlu mengembangkan
adanya pendapat di masa kini, yakni
lafaz bi ma anzala Allah dalam ketiga
ayat di atas, sesungguhnya layak
diperdebatkan. Apakah bi ma anzala
Allah bermakna nashshan (secara teks
nash) atau ruuhan (makna di balik teks
nash, jiwa nash). Karenanya bisa saja
ada hukum manusia (siyasah
wadh'iyyah) bertentangan dengan
hukum Allah secara teks nash; tetapi
bersesuaian dengan ruh nash. Apakah
kasus terakhir ini juga tetap terkena
keumuman ketiga ayat di atas?
Kemudian apa klasifikasi ruh nash itu?
Dan apakah mungkin teks nash berbeda
secara diametral dan konfrontatif
dengan ruh nash? Tentu saja
persoalan-persoalan ini membutuhkan
kajian khusus yang lebih mendalam,
yang tidak mungkin ada dalam tulisan
sederhana ini.
Al-Haq min Allah
Senarai Rujukan:
Tafsir al-Fakhr ar-Razy, juz 12, hal. 3 -
18
Tafsir Al-Maraghy, juz 6, hal 122-124
Tafsir Al-Qasimy, juz 6, hal 2000 -2001
Tafsir Ruh Al-Ma'ani (pada ayat-ayat di
atas

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan Mesej