Tafsir Surat al-Baqarah ayat 8-20
Kerana orang munafik itu tidak sehat keyakinannya, maka akhirnya pendiriannya tidak menentu, terombang-ambing ke sana dan ke mari. Perumpamaan orang munafik adalah seperti kambing yang bingung antara dua kambing, kadang-kadang tersesat ke sini dan kadang-kadang tersesat ke sana (Shahih Muslim). Sekalipun demikian, mereka tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil, sebab mereka masih dapat diharapkan kembali kepada kebenaran, insya Allah, dan dengan tegas Rasulullah melarang berbuat sewenang-wenang kepada mereka.
Diantara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,” padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman (8).
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar (9).
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta (10).
Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (11)
Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar (12).
Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”, mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu (13).
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”, tetapi bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.” (14)
Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka (15).
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk (16).
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat (17).
Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar) (18).
Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, Kerana (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati, dan Allah meliputi orang-orang yang kafir (19).
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu (20). (Qs. al-Baqarah: 8-20)
Tafsir Mufradat
An-Nas: bentuk ism jama’, seperti “qaum”, dan bentuk mufrad (tunggal)-nya: insan, yang diambil dari lafal lain. Arti an-Nas: manusia. (Ibnu Manzur, di bawah kata anasa). Dalam al-Qur’an, kata tersebut diulang sebanyak 241 kali.
Al-Yaum al-akhir: hari akhir; hari akhir dimulai dari saat dikumpulkannya manusia di makhsyar (tempat dikumpulkannya manusia sesudah dibangkitkan) hingga waktu yang tidak terhingga, atau hingga ahli surga masuk dalam surga dan ahli neraka masuk ke dalam neraka. (al-Maraghi, 1: 49). Dalam al-Qur’an, kata tersebut diulang sebanyak 141 kali, 58 diantaranya dihubungkan dengan kata “ad-Dunya” (dunia), untuk memberikan pengertian bahwa masalah ukhrawi (keakhiratan) tidak dapat dipisahkan dengan masalah duniawi (keduniaan).
Al-Qulub: bentuk jama’ dari “al-Qalb” (hati), pada ayat tersebut di atas, al-Qalb berarti akal.
Asy-Syaitan: al-Ba’id (yang jauh), disebut syaitan Kerana jauh dari kebenaran, jauh dari rahmat Allah. Kata tersebut berasal dari kata “syatana-yasytunu-syatnan” (jauh; menyimpang).
Pada ayat tersebut (15), asy-syaitan berarti penyebar fitnah, pembuat kerusakan, pembela kebathilan yang menghalang-halangi agar tidak mengikuti kebenaran, dengan cara menghembuskan keragu-raguan dan menanamkan permusuhan serta pertikaian dalam masyarakat. (Rasyid Rida, I: 163). Dalam al-Qur’an, kata tersebut diulang sebanyak 88 kali. 18 diantaranya dalam bentuk jama’.
Tafsir ayat
Menurut Ibnu ‘Abbas, ayat-ayat tentang orang-orang munafik diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik dari suku Khazraj dan suku Aus. (Ibnu Kasir, tafsir al-Qur’an al-‘Azim, I: 83). Orang yang paling terkenal dikalangan orang-orang munafik ialah ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. (Al-Qasimiy, 1978, II:44).
Pada ayat sebelumnya (2-5), Allah telah menjelaskan sifat-sifat golongan mukminin, orang-orang yang bertaqwa kepada Allah, yang mengikhlaskan (memurnikan) agamanya hanya untuk mencari keridaan Allah SWT, yang batinnya sama dengan perbuatan dan perkataannya. Kemudian pada ayat berikutnya, yaitu ayat 6-7, Allah menjelaskan sifat-sifat para orang kafir, yang menentang dan mengingkari ketauhidan Allah, baik lahir maupun batinnya. Kemudian pada ayat 8-20 Allah menjelaskan tingkah laku dan sifat-sifat golongan munafiqin, yaitu orang-orang yang menampakkan keimanan dan kebaikannya, tetapi merahasiakan kejahatannya. Menurut Ibnu Juraij, orang munafik ialah orang yang perkataannya tidak sama dengan perbuatannya, batinnya tidak sama dengan lahirnya. (Ibnu Katsir, 1966, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, I:83).
Sifat-sifat orang munafiq sebagian besar diterangkan dalam surat-surat madaniyah (surat yang diturunkan sesudah Nabi hijrah ke Madinah), sebab di Makkah, sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah, belum terdapat nifaq (kemunafikan), bahkan sebaliknya, sebagian orang menampakkan kekafirannya, dalam hatinya ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, mengatakan bahwa munculnya orang-orang munafik sesudah perang Badar Kubra, setelah orang-orang dari suku Khazraj dan suku Aus masuk Islam, yang kemudian terkenal dengan “golongan Anshar”. (Ibnu Katsir, 1966, I: 84).
Tujuan penjelasan tentang sifat-sifat orang-orang munafik pada ayat-ayat tersebut di atas, ialah agar orang-orang mukmin tidak terpedaya oleh mereka dan agar terhindar dari segala macam kerusakan. Sifat orang-orang munafik sebagaimana disebutkan pada ayat 8-20 surat al-Baqarah antara lain ialah: mengaku beriman, berusaha menipu Allah SWT, Rasulullah SAW dan orang-orang mukmin dengan cara berpura-pura beriman kepada Allah, berpura-pura cinta kepada Nabi, dan berpura-pura cinta kepada orang-orang mukmin, tetapi sebenarnya mereka mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan memusuhi Allah, Rasul dan orang-orang mukmin. Pada ayat-ayat tersebut (8-9) memang tidak disebutkan penipuannya kepada Rasul, tetapi secara rasional, setiap penipuan kepada Allah adalah penipuan kepada Rasul, sebab Rasulullah adalah utusan Allah yang menyampaikan perintah-Nya. Dengan demikian pula setiap penipuan kepada Rasul, adalah juga penipuan kepada Allah, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah (Qs. an-Nisa/4: 80).
Sifat munafik, sebagaimana disebutkan pada ayat 8-10, juga diungkapkan pada ayat-ayat lainnya, seperti dalam QS at-Taubah (9) ayat 64, 67, 68, 77, 97 dan 101, QS al-Ahzab (33) ayat 12, 60, 73, dan di beberapa ayat lainnya.
Sifat munafik juga diungkapkan dalam beberapa hadits, seperti: Kamu akan menemukan orang yang paling jahat bagi Allah pada hari kiamat, yaitu orang yang bermuka dua, jika bertemu dengan segolongan orang, bermuka begini, tetapi jika bertemu dengan golongan lainnya, bermuka lain. (Sahih al-Bukhariy, dari Abi Hurairah, kitab al-Adab, IV: 39).
Dalam hadis lainnya Rasulullah bersabda:
أَيَةُ الْمُنَافِقُوْنَ ثَلاَثٌ: إذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا أُؤْتُمِنَ خَانَ
Ciri-ciri orang munafik ada tiga: apabila berkata selalu berdusta, apabila berjanji selalu mengingkarinya, dan apabila diberi amanat selalu mengkhianatinya.
Dari penjelasan hadis tersebut, sangat tampak bahwa orang munafik di mana pun dan bila pun sangat berbahaya. Kerana itulah Rasulullah SAW sangat berhati-hati terhadap mereka, sebab sifat-sifat yang demikianlah yang merusak kehidupan masyarakat.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini di terangkan ayat demi ayat. Pada ayat 8-10, sifat-sifat orang munafik diungkapkan sebagai berikut.
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ وَمَا هُم بِمُؤۡمِنِينَ (8) يُخَـٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَمَا يَخۡدَعُونَ إِلَّآ أَنفُسَهُمۡ وَمَا يَشۡعُرُونَ (9) فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ۬ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضً۬اۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمُۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ 10
Diantara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,” padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman (8). Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar (9). Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta (10).
Ketika menafsirkan ayat 8 dan 9 tersebut, Rasyid Rida menjelaskan bahwa ayat tersebut bukanlah berkenaan dengan orang-orang munafik yang hidup pada masa turunnya al-Qur’an, maupun yang hidup pada masa sekarang ataupun yang hidup pada masa yang akan datang. Kerana itulah pada ayat tersebut tidak disebutkan: “dan iman kepadamu hai Muhammad”. (Rasyid Rida, I: 149).
Pada ayat 10, dinyatakan bahwa “dalam hati mereka ada penyakitnya, lalu ditambah Allah penyakitnya.” Pada ayat tersebut digunakan kata isti’arah (metafora): pemakaian kata yang bukan dengan arti yang sebenarnya, Kerana yang dimaksudkan dengan penyakit dalam hati, bukanlah Kerana hatinya terkena kuman atau virus, melainkan yang dimaksudkan, ialah bahwa keyakinan mereka tidak sehat, sebab tidak sesuai dengan al-Qur’an. Maka hati orang-orang mukmin dikatakan sehat, sebab keyakinannya sehat, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبٍ۬ سَلِيمٍ۬ 89
Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (Qs. asy-Syu’ara/26: 89).
Kerana orang munafik itu tidak sehat keyakinannya, maka akhirnya pendiriannya tidak menentu, terombang-ambing ke sana dan ke mari, sebagaimana diungkapkan dalam suatu hadits Nabi SAW:
مَثَلُ الْمُنَافِقُوْنَ كَمَثَلِ الشَّاةِ الْمَائِرَةُ بَيْنَ الْغَنَمَيْنِ تَعِيْرُ إِلَي هَذَا مَرَّةً وَإِلَي هَذَا مَرَّةً
Perumpamaan orang munafik adalah seperti kambing yang bingung antara dua kambing, kadang-kadang tersesat ke sini dan kadang-kadang tersesat ke sana. (Shahih Muslim, dari Ibnu ‘Umar, Sifatul Munafiqin: 17).
Sekalipun demikian, mereka tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil, sebab mereka masih dapat diharapkan kembali kepada kebenaran, insya Allah, dan dengan tegas Rasulullah melarang berbuat sewenang-wenang kepada mereka, sebagaimana diungkapkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin ‘Abdillah:
Datanglah seseorang kepada Rasulullah SAW di Ji’narah, dan baru saja keluar dari perang Hunain. Ketika itu Bilal membawa perak dalam bajunya, kemudian Rasulullah mengambilnya dan membagikannya kepada orang-orang yang berada di tempat itu. Lalu berkatalah orang tersebut: Hai Muhammad berbuat adil! Kemudian bersabdalah Rasulullah: Mengapa kamu berkata seperti itu? Siapa yang dapat berbuat adil jika saya tidak berbuat adil? Sungguh aku gagal dan merugi, jika tidak dapat berbuat adil. Kemudian berkatalah ‘Umar bin Khattab: Ya Rasulullah, biarlah saya bunuh orang munafik itu. Kemudian Rasulullah bersabda: Jangan! Aku mohon perlindungan kepada Allah dari perbincangan orang, bahwa saya membunuh sahabatku. Sesungguhnya orang-orang munafik ini dan sahabat-sahabatnya juga membaca al-Qur’an, tetapi tidak sampai ke kerongkongan mereka, mereka melepaskannya sebagaimana lepasnya anak panah dari sasarannya.” (Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah, Kitabuz-Zakah: 142).
Ketika menafsirkan ayat ini, Rasyid Ridha menjelaskan, bahwa yang dimaksudkan dengan “qalb” (hati) adalah akal, dan yang dimaksudkan dengan penyakit adalah segala sesuatu yang dapat menggangu akal, sehingga daya tangkapnya menjadi lemah dan timbullah keraguan dan kesamaran serta kegelapan. (Rasyid Rida, I: 153). Akal adalah salah satu unsur yang membedakan antara yang hak dan yang batil, jika akalnya sehat, ia akan lebih cinta kebenaran dan dapat terhindar dari keraguan dan kegoncangan. Orang munafik dilukiskan sebagai orang yang hatinya berpenyakit, Kerana ia lebih suka kebatilan, sebab akalnya tidak sehat atau lemah, sehingga merusak aqidah.
Menurut Muhammad Abduh, sebab-sebab kelemahan akal ialah:
Kerana pembawaan, seperti bodoh ....
Kerana kesalahan pendidikan dan pengarahan terhadap akalnya, seperti muqallid (orang yang mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui alasan-alasannya), yang mengikuti nenek moyangnya tanpa mengetahui alasan-alasannya. (Rasyid Rida, I: 154). Orang seperti inilah yang dilukiskan dalam firmannya:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَا وَجَدۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ ڪَانَ ٱلشَّيۡطَـٰنُ يَدۡعُوهُمۡ إِلَىٰ عَذَابِ ٱلسَّعِيرِ 21
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “ikutilah apa yang diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(tidak), tapi kami akan mengikuti apa yang kami dapati (dijalani) moyang kami”. Apakah mereka (akan mengikuti moyang mereka) walaupun syaitan memanggil mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? (Qs. Luqman/31: 21)
Akhirnya mereka menyesali perbuatannya, sebagaimana dilukiskan dalam firmannya:
وَقَالُواْ رَبَّنَآ إِنَّآ أَطَعۡنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَآءَنَا فَأَضَلُّونَا ٱلسَّبِيلَا۟ 67
Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar) (Qs. al-Ahzab/33: 67)
Penyakit orang munafik terus bertambah dan berkembang setiap datang ajakan kepada kebenaran, bahkan semakin bertambah dendam dan dengkinya kepada Rasulullah SAW, sebagaimana dilukiskan dalam firman Allah:
وَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ۬ فَزَادَتۡہُمۡ رِجۡسًا إِلَىٰ رِجۡسِهِمۡ وَمَاتُواْ وَهُمۡ ڪَـٰفِرُونَ 125
Adapun orang-orang yang hatinya ada penyakit, maka bertambahlah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir (Qs. at-Taubah/9: 125).
Kemudian ayat 10 ditutup dengan ancaman: bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih, Kerana kebohongannya.
Selain ancaman yang disebutkan pada akhit ayat 10, terdapat juga ancaman-ancaman terhadap oorang-orang munafik yang lebih keras, antara lain ialah:
إِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِينَ فِى ٱلدَّرۡكِ ٱلۡأَسۡفَلِ مِنَ ٱلنَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمۡ نَصِيرًا 145
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka (Qs. an-Nisa/4: 145).
Ancaman-ancaman Allah terhadap orang-orang munafik, bertujuan untuk memperingatkan bahwa dusta itu sangat besar dosanya, sebab dusta adalah sumber segala kejahatan.
Pada ayat 11 dan 12, sifat orang munafik diungkapkan sebagai berikut (terjemah)
Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar (QS al-Baqarah: 11-12).
Al-Qosimiy, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan perbuatan kerusakan di muka bumi, ialah memberikan bantuan kepada orang-orang kafir dalam memusuhi oarang-orang Islam, dengan menyampaikan rahasia orang-orang Islam kepada orang-orang kafir, membuat provokasi, menjadikan orang-orang kafir sebagai teman karib, mengajak orang-orang kafir agar mendustakan Nabi SAW, menanamkan sikap keragu-raguan dan dendam, sehingga mengobarkan permusuhan orang-orang kafir terhadap Nabi dan menimbulkan peperangan yang mengakibatkan kerusakan besar di muka bumi ini (al-Qosimiy, II: 47). Namun, mereka tidak sadar bahwa sebenarnya mereka telah berbuat kerusakan. Bahkan lebih parah lagi, Kerana mereka telah menghalang-halangi orang-orang dari kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Pada ayat 13, kesombongan orang-orang munafik dilukiskan sebagai berikut (terjemah):
Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”, mereka menjawab: “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu (QS al-Baqarah: 13)
Mereka beranggapan bahwa para pengikut Nabi SAW adalah orang-orang bodoh. Orang-orang Muhajirin dikatakan bodoh, Kerana mereka meninggalkan kampung halamannya serta rumah-rumah yang ada di Makkah. Adapun orang-orang Anshar, mereka dianggap bodoh, Kerana mereka bergabung dengan orang-orang Muhajirin. (al-Maraghiy, 1969, II: 45).
Ketika menafsirkan ayat tersebut, Rasyid Rida menjelaskan bahwa diantara orang-orang munafik yang paling jahat adalah Abdullah bin Ubay bin Salul dan para sahabatnya. Mereka tidak sadar bahwa merekalah sebenarnya yang bodoh. (Rasyid Rida, I: 161).
Kejahatan orang-orang munafik tidak terbatas hanya dalam masalah keimanan saja, melainkan juga dalam masalah sosial ekonomi, sebagaimana diungkapkan dalam firmannya:
هُمُ ٱلَّذِينَ يَقُولُونَ لَا تُنفِقُواْ عَلَىٰ مَنۡ عِندَ رَسُولِ ٱللَّهِ حَتَّىٰ يَنفَضُّواْۗ وَلِلَّهِ خَزَآٮِٕنُ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَـٰكِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِينَ لَا يَفۡقَهُونَ 7
Merekalah orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar): “Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah).” Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami (Qs. al-Munafiqun/63: 7)
Kemudian ayat tersebut ditutup dengan firmannya: “ Wa lakin la ya’lamun” (tetapi mereka tidak tahu), memberikan pengertian bahwa iman itu harus berdasarkan ilmu dan keyakinan, sebab kebahagiaan di dunia dan di akhirat tidak dapat dicapai kecuali dengan mengetahui hakikatnya, sedang hakikat tidak dapat diketahui kecuali dengan ilmu.
Kemudian sifat orang-orang munafik dilukiskan lebih jelas lagi pada ayat 14 dari surat al-Baqarah (terjemah):
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya Kami sependirian dengan kamu, Kami hanyalah berolok-olok.” (QS al-Baqarah: 14)
Demikianlah ciri-ciri orang-orang munafik pada masa turunnya al-Qur’an; pada masa Nabi SAW. Kemunafikan dan kerusakan akhlaknya sudah tidak terukur lagi. Mereka menampakkan diri dengan dua wajah dan berkata dengan dua mulut. Ciri-ciri semacam itu telah diwarisi oleh orang-orang munafik masa kini, bahkan lebih canggih lagi, sehingga kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan pun lebih besar.
Sebenarnya orang-orang munafik itu merahasiakan sikap mereka dengan sangat ketat, agar tidak ketahui oleh kaum mu’minin, tetapi Allah membukanya lewat al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi SAW, sehingga dapat diketahui rencana jahat mereka terhadap orang-orang mu’min.
Kemudian Allah membalas olok-olokan mereka dengan balasan yang lebih pedih, sebagaimana ditegaskan pada ayat berikutnya; ayat 15 (terjemah).
Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. (Qs. Al-Baqarah: 15)
Olok-olokan Allah tersebut dilakukan dengan cara memperpanjang kenikmatan-Nya kepada mereka dan menunda siksaan-Nya terhadap mereka, sehingga mereka merasa sangat tersiksa Kerana tertipu. (Rasyid Rida, II:164).
Orang-orang munafik sebenarnya telah berusaha dengan seluruh kemampuannya untuk menipu Nabi SAW dan orang-orang mu’min, tetapi tipu daya Allah SWT lebih baik, seperti diungkapkan dalam firman-Nya:
وَمَڪَرُواْ وَمَڪَرَ ٱللَّهُۖ وَٱللَّهُ خَيۡرُ ٱلۡمَـٰكِرِينَ
Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. dan Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya. (Qs. Ali Imran/3: 54).
Bentuk istihza’ (olok-olokan) Allah kepada orang-orang munafik diungkapkan juga dibeberapa ayat lainnya dengan ungkapan yang berbeda, seperti:
يَوۡمَ يَقُولُ ٱلۡمُنَـٰفِقُونَ وَٱلۡمُنَـٰفِقَـٰتُ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱنظُرُونَا نَقۡتَبِسۡ مِن نُّورِكُمۡ قِيلَ ٱرۡجِعُواْ وَرَآءَكُمۡ فَٱلۡتَمِسُواْ نُورً۬ا فَضُرِبَ بَيۡنَہُم بِسُورٍ۬ لَّهُ ۥ بَابُۢ بَاطِنُهُ ۥ فِيهِ ٱلرَّحۡمَةُ وَظَـٰهِرُهُ ۥ مِن قِبَلِهِ ٱلۡعَذَابُ 13
Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah Kami supaya Kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu”. dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)”. lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. (Qs. Al-Hadid/57: 13)
Pada ayat 29-34 dari surat al-Muthaffifin (83) Allah berfirman:
إِنَّ ٱلَّذِينَ أَجۡرَمُواْ كَانُواْ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يَضۡحَكُونَ (29) وَإِذَا مَرُّواْ بِہِمۡ يَتَغَامَزُونَ (30) وَإِذَا ٱنقَلَبُوٓاْ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِمُ ٱنقَلَبُواْ فَكِهِينَ (31) وَإِذَا رَأَوۡهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّ هَـٰٓؤُلَآءِ لَضَآلُّونَ (32) وَمَآ أُرۡسِلُواْ عَلَيۡہِمۡ حَـٰفِظِينَ (33) فَٱلۡيَوۡمَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنَ ٱلۡكُفَّارِ يَضۡحَكُونَ 34
Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman (29.) Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya (30). Dan apabila orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira (31). Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat” (32). Padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin (33). Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir (34). (Qs. Al-Muthaffifin/83: 29-34)
Kemudian pada ayat 16 orang-orang munafik itu dinyatakan bahwa usahanya tidak berhasil, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya berikut. (terjemah)
Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. (Qs. al-Baqarah: 16)
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa orang-orang munafik itu telah membeli kesesatan dengan petunjuk. Pernyataan tersebut memberikan pengertian bahwa kesesatan mereka adalah Kerana perlakuan dan usaha mereka sendiri, bukan Kerana diciptakan demikian secara paksa. Sebab pada dasarnya manusia itu dilahirkan dalam keadaan beriman kepada Allah, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَہُمۡ وَأَشۡہَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِہِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰۛ شَهِدۡنَآۛ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ إِنَّا ڪُنَّا عَنۡ هَـٰذَا غَـٰفِلِينَ 172
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (Qs. Al-A’raf/7: 172)
Kemudian ayat tersebut (16) ditutup dengan firman-Nya “ Fa ma rabihat-tijaratuhum wa ma kanu muhtadin” (maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk). Kerana usaha meraka tidak menghasilkan buah yang nyata, bahkan mereka merugi dan kecewa, Kerana perpanjangan kenikmatan kepada mereka dan penundaan hukuman bagi mereka tidaklah ada manfaatnya. Dan meraka tidak memperoleh petunjuk, Kerana mereka tidak dapat memahami al-Qur’an dengan pemahaman yang benar.
Untuk mempermudah pemahaman tentang sifat-sifat kaum munafiqin, Allah membuat perumpamaan bagi mereka, sebab penjelasan dengan perumpamaan lebih mudah dipahami. Maka pada ayat 17 dan 18 Allah mengungkapkan mereka dalam perumpamaan sebagai berikut (terjemah):
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat (17). Mereka tuli, bisu dan buta, Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar) (18). (Qs. Al-Baqarah: 17-18)
Kerana al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka dalam menjelaskan makan dan maksudnya dipergunakan uslub (susunan) bahasa Arab. Amsal (perumpamaan) adalah salah satu uslub yang banyak dipergunakan dalam al-Qur’an untuk menjelaskan berbagai masalah. Sebab perumpamaan adalah lebih mudah dipahami, lebih mudah menembus jiwa seseorang, dan pengaruhnya sangat besar, serta lebih mampu menampakkan hal-hal yang tersembunyi dan lebih kuat dalam menghapus dan menghilangkan kesamaran. Untuk itulah Allah menggunakan perumpamaan dalam menjelaskan keadaan orang-orang munafik pada ayat tersebut.
Allah melukiskan keadaan orang-orang munafik ketika mula-mula masuk Islam dan cahaya iman pun masuk dalam hati mereka. Tetapi kemudian masuklah keraguan dalam jiwa mereka, lalu mereka mengingkari dan meninggalkan cahaya iman, Kerana meraka tidak memperoleh keuntungan dan kebaikan. Maka mereka akhirnya tidak dapat dapat melihat jalan hidayah dan tidak dapat mencapai jalan keselamatan, padahal cahaya iman itu telah menyinari orang-orang yang berada di sekitar mereka, yaitu orang-orang mukmin. Keadaan mereka dilukiskan seperti orang-orang yang menyalakan api untuk menghilangkan kegelapan di sekitar mereka. Tetapi setelah sinar itu menyinari tempat-tempat dan benda-benda di sekitarnya, turunlah kekuatan yang sangat rahasia yang turun dari langit, seperti hujan lebat atau seperti angin puyuh yang memporakporandakan dan memadamkan sinar tersebut, sehingga mereka berada dalam kegelapan dan tidak dapat melihat sesuatu pun yang berada di sekitar mereka. Kemudian mereka seperti orang yang bisu, tuli dan buta, seperti orang yang kehilangan panca indera, Kerana tidak dapat memfungsikan panca inderanya. Apa gunanya pendengaran jika tidak dimanfaatkan untuk mendengarkan petunjuk? Apa gunanya penglihatan jika tidak dimanfaatkan untuk melihat sesuatu yang baik untuk dijadikan pelajaran guna menambah hidayah?
Maka barangsiapa tidak memanfaatkan pendengaran, mulut dan penglihatan untuk kebaikan, seakan-akan kehilangan seluruh panca inderanya. Maka bagaimana mungkin mereka dapat keluar dari kesesatan atau kembali kepada kebenaran.
Al-Maragiy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah membuat perumpamaan seperti disebutkan pada ayat 17 dan 18 bagi orang-orang munafik, Kerana meraka tidak memanfaatkan panca inderanya untuk kebaikan. (al-Maragiy, 1969, I: 59).
Menurut al-Qasimy, amsal (perumpamaan) biasanya dipergunakan untuk menjelaskan keadaan, kisah-kisah atau sifat yang mempunyai keistimewaan dan keajaiban, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya ketika menjelaskan keajaiban surga:
مَّثَلُ ٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِى وُعِدَ ٱلۡمُتَّقُونَۖ تَجۡرِى مِن تَحۡتِہَا ٱلۡأَنۡہَـٰرُۖ أُڪُلُهَا دَآٮِٕمٌ۬ وَظِلُّهَاۚ تِلۡكَ عُقۡبَى ٱلَّذِينَ ٱتَّقَواْۖ وَّعُقۡبَى ٱلۡكَـٰفِرِينَ ٱلنَّارُ 35
Perumpamaan syurga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa, sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka. (Qs. Ar-Ra’d/13: 35)
Pada ayat lainnya Allah berfirman:
لِلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡأَخِرَةِ مَثَلُ ٱلسَّوۡءِۖ وَلِلَّهِ ٱلۡمَثَلُ ٱلۡأَعۡلَىٰۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ 60
Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. An-Nahl/16: 60)
Pada ayat lainnya Allah berfirman:
ذَٲلِكَ مَثَلُهُمۡ فِى ٱلتَّوۡرَٮٰةِۚ وَمَثَلُهُمۡ فِى ٱلۡإِنجِيلِ كَزَرۡعٍ أَخۡرَجَ شَطۡـَٔهُ ۥ فَـَٔازَرَهُ ۥ فَٱسۡتَغۡلَظَ فَٱسۡتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِۦ يُعۡجِبُ ٱلزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِہِمُ ٱلۡكُفَّارَۗ وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ مِنۡہُم مَّغۡفِرَةً۬ وَأَجۡرًا عَظِيمَۢا 29
Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Kerana Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). (Qs. Al-Fath/48: 29)
Kisah surga adalah kisah yang sangat menakjubkan, baik keindahan maupun kenikmatannya, sifat Allah adalah sifat yang Maha Agung dan Maha Mulia, dan pengikut Nabi Muhammad juga sangat menakjubkan. Kerana itulah Allah menjelaskan dengan membuat perumpamaan-perumpamaan. (al-Qasimiy, 1978, II: 56).
Untuk lebih mengenal keadaan orang-orang munafik, baik mereka yang hidup pada masa permulaan Islam maupun yang hidup pada masa kini atau pada masa yang akan datang, Allah menggambarkan mereka dengan perumpamaan yang lain, sebagaiamana disebutkan pada ayat 19 dan 20 (terjemah):
Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, Kerana (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. dan Allah meliputi orang-orang yang kafir (19). Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu (20). (Qs. Al-Baqarah: 19-20)
Pada ayat 17 dan 18 Allah menggambarkan orang-orang munafik seperti orang yang menyalakan api, kemudian dia memadamkan lagi, sedang pada ayat 19 dan 20 Allah menggambarkan mereka seperti orang yang ditimpa hujan lebat, yang dapat melenyapkan pendengaran dan penglihatan. Yang demikian itu untuk menggambarkan keadaan orang-orang munafik dan menjelaskan kekejian perbuatan mereka, dengan tujuan untuk memberikan peringatan dan pelajaran agar berhati-hati terhadap mereka. Sebab mereka selalu menyebarkan fitnah dan kekacauan dalam masyarakat. Sebenarnya mereka telah memperoleh hidayah Ilahiyah dari langit, tetapi kemudian tertimpa kegoncangan iman dan kekacauan serta kegelapan taqlid . juga merasa takut terhadap orang-orang kafir yang ada di sekitar mereka ketika mengerjakan hal-hal yang bertentangan dengan pendapat mereka. Kemudian mereka mendapatkan cahaya hidayah lagi ketika didatangi seorang Da’i, dan tampaklah bagi mereka tanda-tanda kekuasaan Allah dengan jelas, Kerana adanya bukti dan hujjah yang kuat, maka mereka pun mempunyai keinginan yang sangat kuat untuk mengikuti kebenaran, Kerana cahaya hidayah tersebut. Namun kemudian mereka kembali lagi kepada kegelapan dan kegoncangan jiwa, serta kebingungan, bagaikan orang yang berada di padang pasir, yang ditimpa oleh kegelapan malam dan hujan lebat yang disertai angin ribut dan kilat, serta guruh yang keras dan menakutkan, sehingga mereka harus menutupi telinga mereka dengan jari-jari tangannya. Tetapi usaha tersebut tidaklah dapat menyelamatkan mereka dari bencana yang telah ditetapkan Allah SWT. Semua itu mengandung hikmah dan kemaslhatan yang kadang-kadang tidak dapat kita ketahui. (al-Maragiy, I: 60).
Rasyid Rida dalam tafsirnya memperingatkan agar berhati-hati terhadap penafsiran sebagian ulama yang kurang mengindahkan kesahihan sumbernya. Misalnya al-Jalal as-Siyutiy menafsirkan “ar-Ra’ad” (guntur) adalah Malaikat, atau suaranya, “al-Baq” (kilat) adalah cambuknya, untuk menghalau awan. Seakan-akan Malaikat adalah makhluk yang bertubuh, sebab suara yang dapat didengar adalah ciri-ciri makhluk yang bertubuh. Dan seakan-akan awan adalah binatang himar yang bandel, tidak mau berjalan kecuali dengan dihardik dan dicambuk berkali-kali. Demikianlah pemahaman sebagian orang Arab. Sebenarnya tidaklah boleh memalingkan dari makna alam syahadah (yang dapat dilihat) kepada makna alam ghaib (yang tidak dapat dilihat) yang hanya diketahui oleh Allah SWT. Hanya saja sebagian mufassir senang mengumpulkan penafsiran-penafsiran yang tidak ada sumbernya, seperti kisah-kisah israiliyat yang berasal dari orang-orang Yahudi untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. (Rasyid Ridla, I: 174).
Sebagian besar kisah-kisah Israiliyat disampaikan oleh empat tokoh yang terkenal, yaitu: Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, Wahab ibnu Munabbih dan Abdul Malik bin Abdil Aziz bin Juraij. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa periwayatan dari mereka tidak dapat dipercaya, dan harus ditinggalkan. (Az-Zahabiy, 1976, at-Tafsir wa al-Mufassiruun, I:183).
Ayat tersebut ditutup dengan firman-Nya: “inna Allaha ‘ala kulli syai’in qadir”. (sesungguhnya Allah Maha berkuasa atas segala sesuatu). Pernyataan tersebut sebagai ancaman terhadap orang-orang munafik, bahwa Allah berkuasa menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka jika berkehendak. Juga memberikan pengertian bahwa kehendak Allah amat erat kaitannya dengan kekuasaan-Nya.
thx
ReplyDelete