Tausiah...
"ANA INGIN KELUAR DARI JAMAAH"
"Ustaz, dulu Ana merasa semangat dalam Dakwah. Tapi kebelakangan ini rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan Ana melihat ternyata banyak pula yang keruan ."
Begitu keluh kesah seorang santri kepada ustaznya di pagi hari.
Si Ustaz hanya terdiam, mencoba menggali semua yg bekecamuk dalam diri si santrinya.
"Lalu, apa yang ingin Antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang ustaz setelah sesaat termenung.
"Ana ingin berhenti saja, keluar dari jamaah ini.
Ana kecewa dengan perilaku beberapa teman yang tidak Islami. Juga dengan organisasi Dakwah yang Ana ikuti, kaku dan sering mematikan potensi ahli.
Bila terus gini , Ana tawaquf sendiri saja…" jawab sisantri.
SiUstaz termenung...
Tidak nampak raut terkejut dari wajahnya. Sorot matanya tetap dilihat tenang, seakan jawapan itu memang sudah diketahuinya sejak awal lagi.
"Akhi,
bila suatu kali Antum naik sebuah kapal mengharungi lautan luas. Keadaanya ternyata amat getir. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang usang bahkan kabinnya berbau najis manusia. Lalu, apa yang akan Antum lakukan untuk tetap sampai kedestinasi?" tanya sang Ustaz dengan kiasan yg dalam maknanya.
Si santri terdiam...
Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang sungguh tepat.
"Apakah Antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?" Si ustaz mengetuk hatinya.
"Bila Antum terjun ke laut, sesaat Antum akan merasa senang.
Bebas dari bauan dn kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba.
Tapi itu hanya sesaat saja...
Berapa kekuatan Antum untuk berenang hingga tujuan?
Bagaimana bila ikan jerung datang?
Dari mana Antum mendapat makan dan minum?
Bila malam gelapgelita , bagaimana Antum mengatasi cuaca sejuk kedinginan ?"
sentakan pertanyaan dilontarkan di hadapan si santri.
Si santri menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan gundah sedemikian.
Kekecewaannya memuncak, namun Si ustaz yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.
"Akhi,
apakah Antum masih merasa bahwa jalan Dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridha Allah?" Pertanyaan menusuk ini memanah jiwa Si santri.
Ia diam mengangguk.
"Bagaimana pula bila kenderaan yang Antum kendarai dalam menempuh jalan itu ternyata rusak?
Antum akan berjalan kaki meninggalkanya terletak di jalan, atau usha cuba memperbaikinya?" tanya Si ustaz lagi.
Si santri tetap diamkan diri dalam sedunya perlahanlahan .
Tetiba ia mengangkat tangannya,
"Cukup Ustaz, cukup...
Ana sadar.
Maafkan Ana.
Ana akan tetap istiqomah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat sanjungan dn penghormatan. ..
Atau setiap kata-kata Ana didengari …"
"Biarlah yang lain dengan urusan masing-masing.
Ana akan tetap dalam jalan Dakwah ini. Hanya Allah saja yang akan membahagiakan Ana kelak dengan janji-janji-Nya.
Biarlah segala kepedihan dan rintangan Ana rasakan sendiri buat penebus dosa-dosa Ana",
Ustaz tersenyum...
"Akhi, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang banyak kelemahan.
Tapi di sebalik kelemahan itu, masih banyak kebaikan yang dimiliki.
Mereka lah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berDakwah. Dengan begitu, mereka sedang diproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah."
"Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan, janganlah hal itu mendominasi perasaan Antum.
Sebagaimana Allah menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata Antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap Dakwah selama ini. Karena di sisi Allah, belum tentu Antum lebih baik dari mereka."
"Futur, mundur,
kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan penyelesaian .
Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu di sikapi dengan jalan itu, maka bilakah Dakwah ini dapat berjalan dengan baik?"
"Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bijak berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sesuatu kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafir pun melakukannya.
Tapi kita adalah Da'i.
Kitalah yang memikul amanah Allah untuk menyelesaikan masalah-masalah manusia di muka bumi.
"Jangan sampai, kita seperti menyiram minyak ke bara api.
Bara tadinya kecik takde nilai, tetiba memarak nyalaan membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!"
Si santri termenung merenungi setiap kalimat ustaz.
Azamnya memulih kembali menguatkan .
Namun masih ada bergelut dihatinya.
"Tapi bagaimana Ana bisa memperbaiki organisasi Dakwah dengan kapasiti Ana yang lemah ini?"
satu pertanyaan berligar akhirnya muncul juga.
"Siapa kata kapasiti Antum lemah?
Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum?
Semua manusia punya kapasiti yang berbeza. Namun tidak ada yang boleh menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!" sahut Si ustaz
"Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua yang terlibat dalam organisasi itu.
Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman.
Bila ada sebuah isu atau mehnah , tutuplah telinga Antum dan bertaubatlah. Jauhilah segala (dengki, benci, iri hati) Antum terhadap kengkawan Antum.
Dengan itu,
Bilal yang dulunya hina menemui kemuliaannya."
Mula Si santri menyedari kesalahanya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan Dakwah. Pencerahan diperolehi nya.
Insyaa' Allah
tetapkanlah diri istiqamah di jalan NYA..
Kredit : Abd Rahim Muhammad
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10208085360272409&id=1251877796
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan Mesej