Diantara bentuk loyalitas terhadap orang-orang kaafir
Sabtu 21 Syawwaal 1433
Bahaya memberikan muwalah kepada orang-orang kafir sangat jelas bagi kaum muslimin secara umum. Kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar dari sekadar kerusakan karena mengubah akidah alias pindah agama. Namun demikian, dosa bermuwalah terhadap orang kafir itu bertingkat-tingkat. Ada yang merupakan dosa besar, ada pula yang sampai pada tingkat kekafiran. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui bentuk-bentuk muwalah (loyalitas) terhadap orang-orang kafir. (- Ustadz Abu Hamzah, sumber)
1. Ridha dengan kekafiran orang-orang kafir1 dan tidak mengafirkannya, atau ragu-ragu terhadap kekafirannya, atau bahkan cenderung membenarkan jalan hidupnya.
Allah berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاء مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاء أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka : “Sesungguhnya kami berlepas diridarimu dan dari apa-apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.”
(QS. Al Mumtahanah: 4)
Allah dalam kitabNya, telah mengkafirkan yahudi, nashara, dan pemeluk selain agama Islaam, maka kita tidak boleh ragu-ragu untuk mengkafirkan mereka. Sesungguhnya sudah cukup SATU AYAT yang menjelaskan kekafiran seluruh pemeluk agama selain Islaam. Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab [yakni yahudi dan nashara] dan orang-orang yang musyrik; (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.
(al Bayyinah: 5)
Dalam ayat diatas Allah mengkafirkan seluruh pemuluk agama selain Islaam, dan mengancam mereka akan kekekalan neraka, apabila mereka mati dalam keadaan kafir.
Maka barangsiapa yang ragu dengannya, maka ia telah ragu dengan apa yang diturunkan Allah (karena telah jelas bahwa Allah mengkafirkan pemeluk agama selain Islaam), dan barangsiapa yang ragu dengan apa yang diturunkan Allah, maka ketahuilah keragu-raguan seperti ini adalah keragu-raguan yang termasuk KEKUFURAN.
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِّن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.
(Al-An’aam: 114)
Allah menjelaskan sebab kekufuran orang-orang kaafir:
وَإِذَا قِيلَ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ لا رَيْبَ فِيهَا قُلْتُم مَّا نَدْرِي مَا السَّاعَةُ إِن نَّظُنُّ إِلاَّ ظَنًّا وَمَا نَحْنُ بِمُسْتَيْقِنِينَ
“Dan apabila dikatakan [kepadamu] : “Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar dan hari kebangkitan itu tidak ada keraguan padanya,” niscaya kamu menjawab : Kami tidak tau apakah hari kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak meyakini [nya].”.
[Qs.Al-Jatsiyyah (45) : 32].
Demikian juga Allah berfirman tentang mereka:
إِنَّهُمْ كَانُوا فِي شَكٍّ مُّرِيبٍ
“Sesungguhnya mereka dahulu [di dunia] dalam keraguan yang mendalam.”
[Qs. Saba (34) : 54]
Dan inilah pemahamannya KAUM LIBERAL yang menganggap semua agama itu sama!! Alangkah kufurnya perkataan mereka tersebut!!
Didalam salah satu fatwa lajnaah daa-imah disebutkan:
“Barangsiapa yang telah ditetapkan kekafirannya, maka wajib diyakini kekafirannya, menghukuminya dengan hukum kafir. Dan waliyul amri (pemerintah) berhak menjalankan hukuman riddah (murtad) atasnya, jika ia tidak bertuabt. Dan barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang yang telah ditetapkan kekafirannya, maka ia kafir ; kecuali jika ia masih memiliki syubhat (keragu-raguan/kesalahpahaman) dalam masalah tersebut. Maka ia harus menghilangkan syubhat itu darinya [dengan menegakkan hujjah padanya]”
[Fatawa Lajnah Daimah Lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta, Ahmad bin Abdur-Razzaq Ad-Duwaisy, pertanyaan kedua dari fatwa no. 6201; sumber]
Juga dalam fatwa yang lain:
“barangsiapa yang tetap tidak mengkafirkan orang kafir sesudah hujjah tegak atas diri orang kafir tersebut, maka ia kafir”
[Idem]
2. Menolong dan membantu orang-orang kaafir untuk memusuhi orang-orang Islaam
Ibnu Jarir ath Thabariy berkata,
“Siapa saja yang menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong, pembantu, dan mencintai agamanya (mereka); maka berarti dia telah bara’ (berlepas diri) dari Allah. Allah pun bara’ darinya lantaran ia telah murtad dari agama dan masuk ke dalam kekafiran.”
(Lihat Tafsir ath-Thabariy)
Berkata Syaikh Shaalih al Fawzaan hafizhahullaah:
“…Yang kedelapan dari jenis-jenis kemurtadan adalah mudhoharoh(membantu) kaum musyrikin untuk memusuhi muslimin yakni menolong mereka. Al-Mudhoharoh maknanya al Mu’awanah (menolong) yaitu dengan menolong orang-orang kafir untuk memerangi muslimin dan menyakiti mereka…”
(Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah (ulamasunnah.wordpress.com), dari 10 Pembatal Keislaman, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, penerjemah: Al-Ustadz Abu Hamzah Abdul Majid, Penerbit Cahaya Ilmu Press, Yogyakarta)
3. Memberikan wala’ (kedekatan, loyalitas, kesetiaan), kecintaan, kepada orang kafir
Allah Ta’ala berfirman :
لَّا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman akrab, pemimpin, pelindung, penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin.”
(Qs. Ali Imran : 28)
Berkata al Imaam Ibnu Katsiir: “Allah melarang orang-orang beriman menjadikan orang-orang kaafir sebagai wali dan pemimpin, dan memberikan kecintaan kepada mereka, sementara meninggalkan orang-orang beriman”. Kemudian beliau membawakan firman Allah: وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi wali bagi sebagian yang lain. (Al-Anfaal: 73) [Lihat Tafsiir ibnu Katsiir]
Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُم مِّنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ ۙ أَن تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِن كُنتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang. Padahal sesungguhnya mereka telah kafir terhadap kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Rabbmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian).
(sampai pada firmanNya)
وَمَن يَفْعَلْهُ مِنكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.”
(al-Mumtahanah: 1)
Berkata asy Syinqithiy rahimahullaah:
“Barangsiapa yang ber-wala’ kepada orang kafir secara sengajatanpa ada paksaan karena rasa cinta kepada mereka (orang kafir), maka ia dihukumi kafir seperti mereka”
[Adlwaaul-Bayaan, 1/413; sumber; simak amalan-amalan yang menolong orang-kafir yang tidak berkonsekuensi kekafiran, dalam artikel: Pemberian Pertolongan kepada Orang Kafir yang Tidak Dihukumi Kafir]
4. Menjadikan orang-orang kaafir sebagai pemimpin atau orang kepercayaan
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yang di luar kalanganmu [yaitu orang-orang kaafir] sebagai BITHAANAH; (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”
(QS. Ali Imran[3]: 118)
Adapun tentang sebab turun ayat tersebut Ibnu Abbas menjelaskan,
“Ada beberapa orang kaum muslimin yang menjalin hubungan dekat dengan beberapa orang Yahudi mengingat mereka adalah tetangga dan orang-orang yang pernah saling bersumpah untuk saling mewarisi di masa jahiliyyah lalu Allah menurunkan ayat yang berisi larangan menjadikan orang-orang Yahudi sebagai teman dekat karena dikhawatirkan menjadi sebab munculnya godaan iman. Ayat yang dimaksudkan adalah ayat di atas.”
(Riwayat Ibnu Abi hatim dengan sanad yang hasan; dari ustadzaris).
Imaam ath Thabariy berkata dalam menafsirkan ayat diatas: “Janganlah kamu mengambil sebagai pemimpin, orang-orang yang memeluk selain agamamu, yaitu orang-orang yang tidak beriman [kaafir]”. Kemudian beliau menafsirkan tentang: بِطَانَةً (bithanah), beliau berkata: “Yaitu semacam kekasih/teman akrab” (Lihat Tafsiir ath Thabariy).
Adapun Imaam Ibnu Katsiir rahimahullaah berkata: “Janganlah kamu mengambil orang-orang munaafiq, sebagai teman akrab, yang mana engkau jadikan sebagai teman kepercayaan yang menjaga rahasiamu, karena mereka akan membocorkan rahasiamu tersebut kepada musuh-musuhmu.” Adapun tentang بِطَانَةً (bithanah), beliau berkata: “Yaitu Teman Khusus, yang mana dipercayai sehingga dapat mengetahui rahasia pribadi” (Lihat Tafsiir Ibnu Katsiir)
Dalam ayat ini terkandung larangan keras untuk simpati dan memihak kepada orang-orang kafir, karena yang dimaksud bithonah dalam ayat tersebut adalah orang-orang dekat yang mengetahui berbagai hal yang bersifat rahasia. Bithonah diambil dari kata-kata bathnun yang merupakan kebalikan dari zhahir yang berarti yang nampak. Sedangkan Imam Bukhari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bithonahadalah orang-orang yang sering menemui karena sudah akrab. Kata Ibnu Hajar, penjelasan tersebut merupakan pendapat Abu ‘Ubaidah.
(Fathul Bari, 13/202, lihat Jami’ Tafsir min Kutub al Ahadits, 1/396; dari ustadzaris)
Kemudian Imam Ibnu Katsiir membawakan atsar dari Abu Dahqonah, bahwa ia berkata: “ada yang berkata kepada Khalifah Umar,
“Ada seorang budak laki-laki Nasrani dari daerah Hirah yang paling jago dalam tulis menulis dan terkenal sebagi seorang yang amanah. Berkenankah anda seandainya dia menjadi sekretaris anda?”
Dengan tegas, Khalifah Umar menyatakan,
“Jika demikian berarti aku telah menjadikan non muslim sebagai orang kepercayaanku.”
(Riwayat Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang shahih)
Imaam Ar Razi berkata,
“Hal ini menunjukkan bahwa Umar menjadikan ayat ini [QS 3:118] sebagi dalil bahwa menjadikan orang Nasrani sebagai teman dekat adalah suatu yang terlarang.”
(Tafsir ar Razi, 8/216; dari artikel ustadzaris)
Diriwayatkan pula bahwa Abu Musa al ‘Asy’ari pernah mengangkat orang Nasrani sebagai sekretaris beliau maka Khalifah Umar mengirim surat dengan nada kasar lalu mengutip ayat di atas sebagai teguran bagi Abu Musa.
Abu Musa pernah menghadap Khalifah Umar dengan membawa laporan secara tertulis. Setelah disampaikan kepada Khalifah Umar beliau merasa kagum dengan lembaran-lembaran laporan tersebut.
Setelah laporan tersebut sampai ke tangan Khalifah Umar, beliau bertanya kepada Abu Musa, “Di manakah juru tulismu? Minta dia supaya membacakannya di hadapan banyak orang.”
Dijawab Abu Musa, “Dia tidak masuk ke dalam masjid”, jawab Abu Musa.
Khalifah bertanya, “Mengapa? Apakah dia dalam kondisi junub?”
Abu Musa berkata, “Bukan, namun karena dia seorang Nasrani.”
Mendengar hal tersebut, Khalifah Umar lantas menghardik beliau seraya berkata,
“Jangan dekatkan mereka kepada kalian padahal Allah telah menjauhkan mereka. Jangan muliakan mereka padahal Allah telah menghinakan mereka. Jangan percaya kepada mereka padahal Allah sudah menegaskan bahwa mereka suka khianat terhadap amanah.”
Ibnu Katsir mengatakan,
“Riwayat dari Khalifah Umar ditambah ayat di atas adalah dalil bahwa orang kafir dzimmi tidak boleh dipekerjakan sebagai juru tulis sehingga merasa lebih tinggi dari kaum muslimin dan mengetahui rahasia-rahasia umat sehingga dikhawatirkan akan disampaikan kepada musuh, orang kafir harbi.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 1/398; dari artikel ustadzaris)
Imam Qurthubi mengatakan,
“Keadaan telah berubah total di masa kini. Yahudi dan Nasrani diangkat sebagai para juru tulis dan orang-orang kepercayaan. Hal tersebut bahkan menjadi kebanggaan bagi para penguasa yang kurang paham dengan agama.”
Jika demikian keadaan di masa Imam Qurthubi lalu apa yang bisa beliau katakan untuk masa kita saat ini !!!
[Sumber: http://grou.ps/script/talks/3531298]
5. Mencintai dan menyayangi orang-orang kaafir
Allah berfirman:
لَّا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati satu kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang yang menentang itu asdalah bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.”
(Qs. Al-Mujadilah : 22)
Dalam ayat ini, Allah mengabarkan bahwa tidak akan didapati seorang mukmin memberikan kasih sayang atau kecintaan kepada orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, karena sesungguhnya pengaruh keimanan akan menafikan kecintaan yang seperti ini. Jika ada keimanan, hilanglah yang menjadi lawannya yaitu loyalitas kepada musuh-musuh Allah. Jika ada seseorang yang memberikan loyalitas kepada musuh-musuh Allah dengan hatinya, itu merupakan tanda ketiadaan keimanan yang seharusnya ada.
(sumber)
Termasuk dalam hal ini, adalah mereka yang membanggakan/meng-idolai/memuliakan orang-orang kaafir!!
Berkata Syaikh ‘utsaimiin, ketika ditanyakan tentang menonton sepakbola:
“…terdapat bersamanya kerusakan yang lain, yang akan menumbuhkan dalam hati penontonnya perasaan bangga kepada pemain yang kafir, yang mana ini tidak diragukan lagi adalah perbuatan haram!! sebab kita tidak boleh sama sekali memuliakan orang kafir, apapun yang dia dapatkan dari kemajuan, sesungguhnya tidak boleh sama sekali kita memuliakan mereka!!”
(simak audionya di islamweb, kutip dari fatawaulamaislam)
Asy Syaikh ditanya tentang memakai baju yang dipakai orang-orang kafir di mana di bagian punggungnya terdapat nama olahragawan (pemain bola) kafir tanpa meniatkan tasyabbuh (meniru kebiasaan) mereka. Maka beliau menjawab:
“Perbuatan ini termasuk pengagungan terhadap orang kafir. Selama ia memakai baju yang terdapat nama orang kafir atau gambarnya, maka ini termasuk pengagungan terhadap orang kafir. Tidak diperbolehkan. Minimal hukumnya adalah haram. Dan apabila ia memang berniat mengagungkannya, dikhawatirkan ia jatuh dalam kemurtadan.
Ini adalah bentuk pengagungan terhadap orang kafir. Selama dia memakai baju yang ada nama atau gambar orang kafir maka ini adalah bentuk pengagungan padanya. Maka ini tidak diperbolehkan. Paling sedikit hukumnya adalah haram. Apabila dia mengagungkan orang kafir tersebut maka dikawatirkan dia jatuh pada kemurtadan.”
[Dipetik ulamasunnah, dari http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=120239]
Maka serupa dengan hal ini, adalah memajang foto orang kafir dikamarnya, termasuk pula menjadikan foto profil orang-orang kaafir sebagai foto profilnya (baik di facebook, twitter, blackberry, dsb), yang kita dapati banyak kaum muslimin melakukan demikian!!
Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
“Seseorang (akan) bersama dengan yang dicintainya (kelak di hari kiamat)”
[HR Bukhariy, Tirmidziy, dan selainnya]
Tidakkah mereka yang mencintai orang-orang kafir, karena KEGEMARAN mereka (apakah itu karena olahraga, atau apapun itu) takut dengan hadits diatas!!?
Allah berfirman:
مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.
(al Fath: 29)
Bagaimana bisa seorang yang mengaku mengikuti jalannya Rasuulullaah dan para shahabatnya menaruh rasa cinta, kebanggaan, pengidolaan, dsb. kepada orang-orang yang KAAFIR kepada Allah, Rabb mereka! Seandainya kita melihat ada orang yang DURHAKA kepada kedua orang tuanya, yang tidak mau mengakui orang tuanya sebagai ayah apalagi ibunya, akankah kita memiliki perasaan terhadap orang tersebut?! Lantas bagaimana bisa kita memiliki rasa kecintaan, pengidolaan, kebanggaan, apalagi pemuliaan kepada orang-orang yang DURHAKA serta KAFIR kepada Allah, Rabb yang telah menciptakan kita dan mereka, dan yang telah menciptakan seluruh alam semesta?!!
Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيْمَانِ: الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Tali keimanan terkokoh adalah bersikap loyal (setia) karena Allah dan memusuhi karena Allah, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”
(HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir no.11537 dari sahabat Abdullah bin Abbas c, dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1728; sumber)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam kitabnya, al-Wala’ wal Bara’ fil Islam, berkata,
“Sesungguhnya setelah mencintai Allah l dan Rasul-Nya n, wajib mencintai para wali Allah l dan memusuhi musuh-musuh-Nya.”
(al-Wala’ wal Bara’ fil Islam; sumber)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah para wali Allah, sebagian mereka adalah pembela bagi sebagian yang lain. Adapun orang-orang kafir adalah musuh Allah dan musuh orang-orang beriman. Allah mewajibkan sikap loyal (setia) terhadap sesama orang-orang beriman dan menjadikannya sebagai konsekuensi keimanan, sebagaimana pula Dia l melarang orang-orang beriman dari sikap loyal (setia) kepada orang-orang kafir.”
(Majmu’ Fatawa 28/190; sumber)
Cukuplah sikap Abdullaah ibn Rawaahah radhiyallaahu ‘anhu terhadap kuffaar berikut sebagai renungan kita semua:
Beliau dikenal dengan sifatnya yang begitu teliti dalam membuat taksiran hasil kurma. Dari situ, dia membahagikan kurma-kurma itu sama rata. Keadilannya ini tidak disukai oleh orang-orang Yahudi. Maka pada suatu hari, orang-orang Yahudi ini berusaha menyogok beliau supaya mereka boleh menerima bahagian kurma dengan lebih banyak.
Ketika Abdullah mengetahui akan hal ini, dia menjadi berang. Lalu dia berkata kepada mereka,
“Wahai musuh-musuh Allah, kamu berhasrat untuk memberi makanan yang haram kepadaku?!!
Demi Allah, aku datang dari sisi orang yang paling aku cintai (Rasulullah) dan kamu adalah orang-orang yang PALING aku BENCI, LEBIH BESAR dari KEBENCIANKU terhadap KERA dan BABI !!
AKAN TETAPI KEBENCIANKU kepada KAMU dan KECINTAANKU kepada RASUULULLAAH tidak mempengaruhiku untuk TIDAK BERBUAT ADIL terhadap kamu semua!!”
Orang-orang Yahudi itu terdiam lalu memuji sikap Abdullah. Mereka kemudian berkata,
“Karena perbuatan seperti inilah maka langit dan bumi menjadi tegak.”
(AR. Bayhaqiy, simak dalam risalahnya syaikh ibn baz, yang ditulis Ustadz Abu Salma al Atsariy, disini: “WAJIBNYA MEMUSUHI YAHUDI DAN NASRANI SERTA KAUM KUFFAR LAINNYA“)
6. Condong atau memihak kepada mereka
Allah berfirman:
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.”
(Hud: 113)
Al-Imam al-Qurthubi berkata, “Condong atau memihak hakikatnya adalah bersandar dan bertumpu serta cenderung kepada sesuatu dan ridha kepadanya.” Menurut al-Imam Qatadah, makna ayat ini adalah “Jangan kalian berikan kecintaan kepada mereka dan jangan kalian menaatinya.” Adapun menurut Ibnu Juraij dari Ibnu Abbas, “Janganlah kalian condong kepada mereka.”
[sumber]
Menamai anak-anak dengan nama orang kafir
Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ خَيْرَ الْأَسْمَاءِ عَبْدُ اللَّهِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ وَالْحَارِثُ
“Sebaik-baik nama adalah ‘Abdullah, ‘Abdurrahman, dan Harits.”
(Shahiih, HR. Ahmad; Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berpesan bahwasanya kewajiban bagi kaum Muslimin umumnya, hendaklah memperhatikan pemberian nama bagi anak-anaknya. Yaitu dengan memperhatikan tuntunan syariat, dan tidak keluar dari tata bahasa Arab. Sehingga tidak lagi terdengar nama-nama orang Barat yang tidak mencerminkan keislaman. Pilihkan nama-nama yang baik yang dikenal kaum Muslimin, misalnya ‘Abdullah, ‘Abdur-Rahmân, Muhammad, Ahmad, ‘Aisyah, Fâthimah.
[Tasmiyatul-Maulûd, hlm. 7, kutip dari almanhaj]
Memilih membeli produk kaafir, padahal masih ada produk mukmin
Perlu diketahui, dibolehkan bagi seorang muslim untuk membeli kebutuhannya yang Allah halalkan baik dari penjual muslim maupun kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah melakukan jual beli dengan seorang Yahudi. Namun (yg dimaksudkan adalah) jika seorang muslim berpindah ke penjual kafir tanpa ada sebab. Di antara sebabnya misalnya penjual muslim tersebut melakukan penipuan, menetapkan harga yang terlalu tinggi atau barang yang dijual rusak/cacat. Jika itu terjadi dan akhirnya dia lebih mengutamakan orang kafir daripada muslim, maka ini hukumnya haram. Perbuatan semacam ini termasuk loyal (wala’), ridho dan menaruh hati pada orang kafir. Akibatnya adalah hal ini bisa membuat melemahnya dan lesunya perekonomian kaum muslimin. Jika semacam ini jadi kebiasaan, akibatnya adalah berkurangnya permintaan barang pada kaum muslimin.
Adapun jika di sana ada faktor pendorong semacam yang telah disebutkan tadi (yaitu penjual muslim yang sering melakukan penipuan, harga barang yang terlalu tinggi atau barang yang dijual sering ditemukan cacat), maka wajib bagi seorang muslim menasehati sikap saudaranya yang melakukan semacam itu yaitu memerintahkan agar saudaranya tersebut meninggalkan hal-hal jelek tadi. Jika saudaranya menerima nasehat, alhamdulillah. Namun jika tidak dan dia malah berpaling untuk membeli barang pada orang lain bahkan pada orang kafir, maka pada saat itu dibolehkan mengambil manfaat dengan bermua’amalah dengan mereka.
Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi wa sallam.
(Al Lajnah Ad Daa-imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Iftaa’, Fatawa no. 3323; sumber)
7. Menaati mereka
Allah dengan jelas melarang perbuatan itu. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ فَتَنقَلِبُوا خَاسِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.”
(Ali Imran: 149)
Allah juga berfirman:
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Sesungguhnya syaithan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”
(al-An’aam: 121)
Al-Imam Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya,
“Jika kalian menaati mereka, pasti kalian menjadi musyrik. Karena dengan itu, berarti kalian beralih dari perintah Allah dan syariat-Nya kepada ucapan yang lain. Kalian lebih cenderung mendahulukannya daripada Allah. Inilah kemusyrikan, seperti dalam firman Allah: ”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah yang Esa, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (at-Taubah: 31)
[sumber]
8. Duduk bersama mereka, ketika mereka mengolok-olok ayat Allah
Allah berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ إِنَّكُمْ إِذًا مِّثْلُهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sehingga mereka mengalihkan pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di dalam Jahannam.”
(an-Nisa: 140)
Ibnu Jarir berkata,
“(Yaitu) apabila kalian duduk bersama orang-orang yang mengufuri ayat-ayat Allah serta mengolok-oloknya dan kalian mendengarnya, berarti kalian sama seperti mereka! Dan jika kalian tidak meninggalkan mereka pada saat itu, karena dengan begitu kalian telah bermaksiat kepada Allah!!”
[sumber]
9. Merayakan hari perayaan agama mereka, atau tolong-menolong didalamnya, atau menghadirinya, atau memberikan selamat
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”
(QS. Al Furqon [25]: 72)
Ibnul Jauziy dalam Zaadul Masiir mengatakan bahwa ada 8 pendapat mengenai makna kalimat “tidak menyaksikan perbuatan zur”, pendapat yang ada ini tidaklah saling bertentangan karena pendapat-pendapat tersebut hanya menyampaikan macam-macam perbuatan zur. Di antara pendapat yang ada mengatakan bahwa “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas.
Jadi, ayat di atas adalah pujian untuk orang yang tidak menghadiri perayaan orang musyrik. Jika tidak menghadiri perayaan tersebut, maka itu adalah suatu hal yang terpuji. Ini berarti melakukan perayaan tersebut adalah perbuatan yang sangat tercela dan termasuk ‘aib (Lihat Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim, 1/483). Oleh karena itu, tidak pantas bagi seorang muslim menghadiri perayaan natal, mengucapkan selamat natal pada orang nashrani atau bahkan membantu mereka dalam melaksanakan perayaaan tersebut.
[sumber; Simak pula fatwa ulamaa’ akan hal ini, disini:http://muslim.or.id/manhaj/selamat-natal.html]
10. Tasyabbuh (menyerupai ciri khas mereka)
Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik”
[QS. Al-Hadiid : 16].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata ketika mengomentari ayat:
وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ
“Firman-Nya : ‘Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya’ ;
(Hal ini) merupakan larangan yang bersifat mutlak dalam hal penyerupaan terhadap mereka (orang kafir). Larangan ini juga khusus menyerupai mereka dalam hal kerasnya hati, sedangkan kerasnya hati termasuk di antara buah kemaksiatan”
[Iqtidlaa’ Shiraathil-Mustaqiim, 1/290].
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan :
ولهذا نهى الله المؤمنين أن يتشبهوا بهم في شيء من الأمور الأصلية والفرعية
“Oleh karena itu, Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai mereka (orang kafir) dalam hal apapun, baik dalam perkara pokok (ushuliyyah) maupun cabang (furu’iyyah)”
[Tafsir Ibnu Katsir, 8/20, tahqiq : Saamiy bin Muhammad Salaamah; Daarith-Thayyibah, Cet. 2/1420].
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerupai kaum selain kami.”
(HR. At-Tirmidzi no. 2695)
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”.
(HR. Abu Daud no. 4031 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 1/676)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata (setelah membawakan hadits diatas,
“Hukum minimal yang terkandung dalam hadits ini adalah haramnya tasyabbuh kepada mereka (orang-orang kafir), walaupun zhahir hadits menunjukkan kafirnya orang yang tasyabbuh kepada mereka”
(Lihat Al-Iqtidha` hal. 83)
Dan pada hal. 84, beliau berkata,
“Dengan hadits inilah, kebanyakan ulama berdalil akan dibencinya semua perkara yang merupakan ciri khas orang-orang non muslim”.
(Lihat Al-Iqtidha` hal. 84)
[Lihat pembahasan tentang hal ini selengkapnya disini: “Waspadailah Perbuatan Tasyabbuh!“]
11. Menetap di negeri kaafir
Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْوَاْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءتْ مَصِيراً إِلاَّ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاء وَالْوِلْدَانِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً فَأُوْلَـئِكَ عَسَى اللّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللّهُ عَفُوّاً غَفُوراً
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri , (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini ?”. Mereka menjawab : “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata : “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu ?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah mema’afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.”
(QS. An Nisa’: 97-98)
Dalam ayat ini, Allah tidaklah memberikan udzur untuk tinggal di negeri kafir kecuali bagi orang-orang yang lemah yang tidak mampu untuk berhijrah dan juga orang-orang yang ingin menegakkan agama di negeri tersebut dengan cara berdakwah kepada Allah dan menyebarkan Islam.
[sumber]
Bahkan Rasuulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
أَنَا بَرِيْءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِيْنَ
Artinya: “Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal diantara orang-orang musyrik.”
[HR Abu daud, dishahiihkan Syaikh al Albaaniy]
Bagaimana jika bersafar ke negeri kaafir?
Berkata Syaikh Shaalih al Fawzaan hafizhahullaah:
Bepergian kenegeri kafir tidak diperbolehkan karena terdapat bahaya atas aqidah, akhlak, bercampur baur dengan orang kafir dan menetap diantara mereka akan tetapi jika hajat darurat dan tujuan yang benar dalam bepergian menuntutnya seperti berobat dari penyakit yang tidak tersedia perawatannya kecuali dinegeri mereka atau belajar yang tidak dapat dilakukan di negeri muslimin atau berdagang, maka ini semua adalah tujuan safar yang benar yang diperbolehkan bepergian karenanya kenegeri kafir dengan syarat menjaga syiar-syiar islam dan kemampuan menegakkan agama dinegeri mereka. Ini semua sebatas kebutuhan saja kemudian setelah itu kembali kenegeri islam.
Adapun bepergian untuk wisata maka ini tidak boleh, karena seorang muslimin tidak membutuhkannya dan tidak pula kembali kemaslahatannya seimbang atau lebih kuat dari kemudhoratan dan bahaya terhadap agama dan aqidah yang ada padanya”.
Adapun bepergian untuk wisata maka ini tidak boleh, karena seorang muslimin tidak membutuhkannya dan tidak pula kembali kemaslahatannya seimbang atau lebih kuat dari kemudhoratan dan bahaya terhadap agama dan aqidah yang ada padanya”.
(Al Muntaqa Min Fatawa Syeikh Sholeh Al fauzaan 2/253-254;sumber)
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan Mesej