Whatsap Saya

Jawatan Kosong Kerajaan & Swasta Terkini 2020

koleksi kitab

Tuesday, July 7, 2015

Bagaimana Hukum Menggulingkan Pemerintah Muslim Zalim ?

Bagaimana Hukum Menggulingkan Pemerintah Muslim Zalim?


Pertanyaan:
Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Ustadz Farid. Mau tanya apakah benar menggulingkan pemerintahan muslim meskipun zalim itu haram seperti yang terjadi di Mesir sekarang? (Dari 083899369xxx)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum salam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:
Penguasa yang zalim lantaran ia banyak penyimpangan dan pelanggaran, fasiq, korup, otoriter, kesesatan, kufur, menentang hukum Allah Azza wa Jalla. Selalu ada sejakpasca masa-masa khulafa’ur rasyidin hingga sekarang. Mereka memusuhi ulama dan para da’i Islam, bahkan mengejar, mengirim mata-mata, memenjarakan dan membunuhnya, namun ada pula yang justru ‘dibeli’ untuk kepentingan status quonya. Para ulama dan da’i tersebut menjadi skrup penguat kedudukan penguasa tersebut. Namun, pada umumnya para ulama dan da’i selalu berseberangan dan menjadi penentang utama penguasa yang zalim, bahkan manusia secara umum tidak akan sejalan dengan penguasa seperti itu.
Bagaimana Islam menyikapi penguasa yang zalim? Paling tidak, ada tiga tahapan yang bisa dilakukan untuk menyikapinya. Pertama, menasehatinya dengan hikmah dan pelajaran yang baik agar ia kembali kepada Allah‘Azza wa Jalla. Kedua, tidak mentaatinya sampai penguasa itu taat kembali kepada Allah dan rasulNya. Ketiga, mencopotnya dari jabatannya. Namun yang terakhir ini diperselisihkan legalitasnya. Bahkan ada yang tega menuduh upaya mencopot penguasa yang zalim merupakan perilaku khawarij, yang dahulu pernah memberontak kepada Ali radhiallahu ‘anhu. Sikap-sikap ini akan kita lihat paparannya menurut Al Qur’an, As Sunnah AS Shahihah, dan pandangan ulama ternama masa lalu.
Sikap Pertama: Memberikan Nasihat
Memberikan nasihat kepada penguasa zalim merupakan perintah klasik Allah Jalla wa ‘ Ala kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam untuk meluruskan kezaliman Fir’aun. Ini menunjukkan bahwa nasihat dan ajakan kepada kebaikan merupakan upaya penyembuhan pertama bagi penguasa zalim, bahkan bagi siapa saja yang menyimpang. Para fuqaha’ sepakat bahwa hukuman di dunia bagi orang yang meninggalkan shalat secara sengaja baru bisa ditegakkan bila ia enggan bertaubat setelah diperintahkan untuknya bertaubat. Memerangi orang kafir pun baru dimulai ketika da’wah telah ditegakkan, namun mereka membangkang.
Allah Ta’ala berfirman:
“Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun karena ia telah thagha” (QS. Thaha:24, Qs. An Nazi’at: 17)
“Pergilah engkau berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena ia telah thagha” (QS. Thaha: 43)
Thagha (طغى) adalah melampaui batas dalam kesombongan dan melakukan penindasan (diktator)(Khalid Abdurrahman Al ‘Ak, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 313) juga berarti menyimpang dan sesat (ibid, hal. 314) dan kufur kepada Allah ‘Azza wa Jalla (Ibid, hal. 584)
Berkata Imam Ibnu Katsir –rahimahullah “Maksudnya (Fir’aun) telah melakukan penindasan dan menyombongkan diri.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anul Azhim, 4/ 468)
Beliau juga berkata, “Pergilah engkau (Musa) kepada Fir’aun, penguasa Mesir, yang telah mengusir dan memerangimu, ajaklah ia untuk ibadah kepada Allah satu-satunya, tiada sekutu bagiNya, dan hendaknya ia berbuat baik kepada Bani Israel, jangan menyiksa mereka. Sesungguhnya ia telah melampaui batas dan membangkang, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia dan melupakan Rabb yang Maha Tinggi.” (Ibid, 3/146)
Jadi, ada alasan yang jelas kenapa Fir’aun harus diluruskan karena ia melampaui batas, sombong, menindas, sesat, kufur dan membangkang kepada AllahTa’ala. Inilah ciri khas penguaza zalim, bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja dan kapan saja.
Mengutarakan nasihat dan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim merupakan amal mulia, bahkan disebut sebagai afdhalul jihad (jihad paling utama) (HR. Abu Daud No. 4344. At Tirmidzi No hadits. 2265. Katanya: hadits ini hasan gharib. An Nasa’i No. 4209, Ibnu Majah, No. 4011. Ahmad No. 10716. Dalam riwayat Ahmad tertulis Kalimatul haq(perkataan yang benar).  Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam berbagai kitabnya, seperti Shahihul Jami’ No. 1100, 2209, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2174, Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4344, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 4011, dan Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 4209)
Bahkan  jika ia mati terbunuh karena amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa yang zalim maka ia termasuk penghulu para syuhada, bersama Hamzah bin Abdul Muthalib.  (HR. Al Hakim No. 4884. Ia nyatakanshahih, tetapi Bukhari-Muslim tidak meriwayatkannya.  Adz Dzahabi menyepakatinya. Syaikh Al Albany mengatakan hasan, dia memasukkannya dalam kitabnya As Silsilah Ash Shahihah, Juz.  No. 374)
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad Dari radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda: “Agama itu nasihat”, Kami bertanya, “Bagi siapa?”, beliau menjawab, “Bagi Allah, KitabNya, RasulNya, Imam-Imam kaum muslimin dan orang-orang umumnya. “ (HR. Muslim  No. 55, At Tirmidzi No. 1990Ad Darimi No. 2754, Ibnu Hibban No. 4574)
Nasihat yang bagaimana?
Nasihat berasal dari kata nashaha (نصح)yang biasa diterjemahkan menasehati. Dalam Lisanul ‘Arabdisebutkan Nashaha Syai’ adalah Khalasha(memurnikan/membersihkan). (Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, 2/615. Dar Shadir). Jadi, nasihat merupakan upaya pembersihan terhadap kotoran, kesalahan, dan dosa, yang harus dilakukan dengan cara bersih pula.
Tentang da’wah terhadap Fir’aun Allah Ta’ala berfirman:
“Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun karena ia telah melampaui batas. Lalu katakanlah untuknya kalimat yang lemah lembut, agar ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 43-44)
Subhanallah! Terhadap fir’aun yang super zalim, AllahTabaraka wa Ta’ala memerintahkan dua orang utusanNya menda’wahi dengan kata-kata yang lemah lembut (qaulan layyinan), bukan dengan menghardik dan merendahkannya. Sebab -pada hakikatnya- dengan kezaliman yang diperbuatnya, posisinya sudah rendah di mata rakyatnya, dan Allah pun telah merendahkannya. Adapun menda’wahi dengan kekasaran ucapan dan sikap, justru semakin membuatnya keras dan sombong, bahkan ia memiliki bala tentara untuk memberangus lawan-lawannya. Tentunya ini tidak membawa kebaikan bagi da’wah.
Apa tujuannya? ..agar ia ingat dan takut. Ya, agar ia ingat untuk kembali (taubat) dan meninggalkan kesesatannya (Shafwatul Bayan, hal. 314) bukan agar binasa dan berakhir kekuasaannya. Sebab bila masih ada kesempatan untuk menjadi orang baik, maka upaya menasihati dengan bijak adalah lebih utama.
Imam Ibnu Qudamah meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal radhiallahu ‘anhu ucapannya, “Janganlah sekali-kali engkau menentang penguasa, karena pedangnya selalu terhunus. Tentang apa yang dilakukan orang-orang salaf (terdahulu) yang berani menentang para penguasa, karena para penguasa itu enggan kepada ulama. Jika para ulama itu datang, maka mereka akan menghormati dan tunduk kepada mereka.”(Minhajul Qashidin, hal. 160. Pustaka Al Kautsar, cet. 1. Oktober 1997)
Namun demikian, betapapun lemah lembutnya menda’wahi penguasa yang zalim, konsistensi terhadap kebenaran, tidak basa-basi dengan penyimpangan, adalah sikap yang harus terus dijaga. Sebab biasanya bila sudah memasuki pintu-pintu penguasa maka keberanian manusia jauh berkurang, terjadi banyak pemakluman terhadap kedurhakaannya, dan tidak enak hati, itulah sebabnya Nabi Musa ‘Alaihis salam berdo’a ketika hendak menda’wahi Fir’aun, Rabbisyrahli shadri wa yassirli amri (Tuhanku lapangkan dadaku, mudahkan urusanku)…dst dan ia juga minta kepada Allah Jalla wa ‘Ala berupa bantuan saudaranya, Nabi Harun ‘Alaihis salam, agar kekuatannya bertambah.
Sangat banyak kisah salafus shalih yang enggan mendekati pintu-pintu istana khawatir fitnah yang dilahirkannya. Namun tidak sedikit pula salafus shalih yang berani amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa.
Beberapa kisah nasihat untuk para Penguasa
Said bin Amir pernah berkata kepada khalifah Umar bin al Khathab radhiallahu ‘anhu, “Sesungguhnya aku akan memberimu nasihat, berupa kata-kata Islam dan ajaran-ajarannya yang luas maknanya: Takutlah kepada Allah dalam urusan manusia dan janganlah takut kepada manusia dalam urusan Allah, janganlah perkataanmu berbeda dengan perbuatanmu, karena sebaik-baik perkataan adalah yang dibenarkan perbuatan. Cintailah orang-orang muslim yang dekat dan jauh seperti engkau cintai bagi dirimu dan anggota keluargamu. Tuntunlah kebodohan kepada kebenaran selagi engkau mengetahuinya. Janganlah takut celaan orang-orang yang suka mencela.”
Umar bertanya, “Lalu siapa orang yang bisa berbuat seperti itu wahai Abu Said?”
Dia menjawab,”Siapa yang bisa memanggul di atas pundaknya seperti siapa yang memanggul di atas pundakmu.”
Ada seorang tua renta dari Al Azd yang memasuki tempat tinggal khalifah Mu’awiyah, lalu dia berkata kepadanya, “Bertakwalah kepada Allah wahai Mu’awiyah, dan ketahuilah setiap hari ada yang keluar dari dirimu dan setiap malam ada yang dating kepadamu, yang tidak memberi tambahan bagi dunia melainkan semakin jauh dan tidak menambahkan bagi akhirat melainkan semakin dekat. Di belakangmu ada yang mencari dan engkau tidak bisa mengelak darinya. Engkau telah mendapatkan ilmu yang tidak bisa engkau lewatkan. Betapa cepat ilmu yang engkau dapat. Betapa cepat yang mencarimu akan menghampirimu. Apa yang ada pada dirimu akan segera berlalu, sementara yang akan kita datangi tetap abadi. Kebaikan pasti akan dibalas kebaikan dan kejelekan pasti akan dibalas dengan kejelekan pula.”
Suatu kali khalifah Umar bin Abdul Aziz berkata kepada Abu Hazim, “Berilah aku nasihat!”
Abu Hazim berkata, “Kalau begitu tidurlah telentang, kemudian anggaplah seakan-akan kematian ada di dekat kepalamu, lalu pikirkanlah sesuatu yang engkau inginkan saat itu, maka ambillah sekarang juga, sedangkan apa yang engkau benci pada saat itu, buanglah!” (Ibid, hal. 160-165)
Pada bulan Rajab 1366H Imam Syahid Hasan Al BannaRadhiallahu ‘Anhu mengirim surat kepada raja Faruq I (Penguasa Mesir dan Sudan), juga kepada Musthafa an Nuhas Pasya kepala pemerintahan (perdana menteri) saat itu, juga ditujukan kepada raja-raja, penguasa, pemimpin negeri-negeri Islam lainnya, dan juga kepada orang-orang yang berpengaruh dalam urusan agama dan dunia. Inilah mukaddimah surat itu:
Bismillahirrahmanirahim
Segala puji bagi Allah, dan selawat dan salam atas sayyidina Muhammad dan keluarganya, beserta para sahabatnya. “Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dar sisiMu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami.” (QS. Al Kahfi:10)
Kairo, Rajab 1336H
Kepada Yang Terhormat
……….
Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Wa ba’du, Kami persembahkan surat ini kehadapan Tuan yang mulia, dengan keinginan yang kuat untuk memberi bimbingan kepada umat, yang urusan mereka telah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bebankan ke pundak Anda saat ini. Suatu bimbingan yang semoga dapat mengarahkan umat di atas jalan yang terbaik. Sebuah jalan yang dibangun oleh sistem hidup terbaik, bersih dari keguncangan yang tidak pasti, dan telah teruji dalam sejarah hidup yang panjang.
Kami tidak mengharap apa pun dari Anda, melainkan bahwa dengan ini kami telah menunaikan kewajiban dan menyampaikan nasihat untuk Anda. Dan Pahala dari Allah adalah yang lebih baik dan kekal. (Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ah Rasailhal.63-67.
Risalah Nahwan nur, Al Maktabah At Taufiqiyah, tanpa tahun)
Demikianlah cuplikan beberapa nasihat para ulama untuk para penguasa, baik penguasa adil atau yang yang zalim.
Saat ini nasihat untuk penguasa bisa dilakukan melalui surat terbuka di media massa, surat langsung untuk presiden, bisa melalui parlemen, open hause, bahkan demonstrasi. Untuk ini (demo) para ulama kontemporer berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Wallahu A’lam
Menasihati Pemimpin Secara Diam-Diam
Menasihati pemimpin secara diam-diam, memang dianjurkan oleh syariat. Namun, hal itu tidaklah menunjukkan larangan dengan cara terangan-terangan. Hal ini hanyalah masalah pilihan uslub (metode). Kedua cara ini pada kondisi dan jenis kesalahan tertentu, memiliki efektifitas dan keunggulannya sendiri. Oleh karena itu, tidak dibenarkan saling meremehkan satu cara dibanding cara yang lain. Tidak seperti prasangkaan sebagian manusia, bahwa hadits tentang anjuran menasihati pempimpin secara diam-diam, merupakan petunjuk satu-satunya cara nasihat kepada pemimpin, dan haram cara lainnya. Prasangkaan ini tidak benar, dan bertentangan dengan Al Quran serta contoh  para nabi, salafush shalih, dan para ulama rabbani.
Dari ‘Iyadh bin Ghanm Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa yang hendak menasihati pemimpin terhadap suatu urusan, maka janganlah  menampakkannya terang-terangan, tetapi hendaknya dia meraih tangannya lalu dia menasihatinya berduaan. Jika dia menerima nasihatnya, maka bagimu akan mendapat ganjaran, jika dia tidak menerima, maka dia telah menunaikan apa-apa yang layak bagi sultan tersebut.” (HR. Ahmad, No. 15369, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih lighairih. Lihat jugaAl Musnad Al Jami’, 34/35)
Hadits ini sering dijadikan alasan oleh sebagian kaum muslimin agar jangan menasihati pemimpin secara terang-terangan bahkan mereka mengharamkan demonstrasi dengan alasan hadits ini pula.    Anjuran dalam hadits ini adalah agar kita menasihati pemimpin secara face to face atau empat mata.   Anjuran yang ada dalam hadits ini, tidaklah sama sekali menunjukkan pembatasan bahwa inilah satu-satunya cara, melainkan hadits ini berbicara tentang salah satu bentuk cara nasihat terhadap pemimpin. Tak ada korelasi apa pun dalam hadits ini yang menunjukkan bahwa terlarangnya menasihati pemimpin secara terbuka. Sebab, sejarah menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul, sebagian sahabat, tabi’in, dan para imam kaum muslimin, pernah menasihati pemimpin secara terang-terangan sebagaimana yang akan kami paparkan nanti.
Menasihati, Menegur, dan Mengkritik Pemimpin Secara Terang-Terangan
Berikut ini adalah bukti bahwa cara ini juga pernah dilakukan oleh manusia mulia. Baik yang melakukannya di istana penguasa atau di tempat selain istana. Sekaligus paparan di bawah ini sebagai koreksi bagi pihak-pihak yang melarang menasihati dan menegur kesalahan penguasa secara terang-terangan.
Zaman Para Nabi ‘Alaihim Shalatu was Salam
Metode ini pun pernah terjadi pada umat-umat terdahulu. Di antaranya adalah nasihat terbuka yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, bahkan bukan hanya nasihat, beliau melakukan aksi nyata dengan menghancurkan berhala-berhala saat itu. Bahkan beliau berdialog dengan Namrudz dari Babilonia yang disaksikan oleh para pembesar dan pengawalnya. Sebagaimana yang Allah Ta’ala ceritakan dalam Al Quran:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”.Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah Dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah (2): 258)
Tentang ayat ini, Zaid bin Aslam mengatakan, bahwa raja pertama yang diktator di muka bumi adalah Namrudz.  Manusia keluar rumah serta menjejerkan makanan di depan Namrudz. Begitu pula Ibrahim pun ikut melakukannya bersama manusia. Masing-masing mereka dilewati oleh Namrudz dan dia bertanya; “Siapakah Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Engkaulah!” hingga giliran Ibrahim, Namrudz bertanya: “Siapakah Tuhanmu?” Ibrahim menjawab: “Tuhanku adalah yang menghidupkan dan mematikan.” Namrudz menjawab: “Aku bisa menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari di Timur dan menenggelamkannya di Barat.” Maka bungkamlah orang kafir itu.” (Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari, Jami’ Al Bayan fi Ta’wilil Quran, 5/433. Muasasah Ar Risalah, Tahqiq: Syaikh Ahmad Muhammad Syakir)
Ayat ini, dengan gamblang menjelaskan Nabi Ibrahim mengkritik dan mendebat raja zalim, Namrudz, secara terang-terangan di depan banyak manusia. Bukti lain bahwa Nabi Ibrahim mengkritik dan mendebat secara terang-terangan  di depan kaumnya adalah isyarat yang Allah Ta’ala sebutkan dalam ayatNya:
“Dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya.” (QS. Al An’am 96): 83)
Juga yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Nabi Harun‘Alaihimassalam, mereka berdua menasehati Fir’aun di depan para pembesar istananya. Bahkan Nabi Musa mempermalukan Fir’aun di depan pasukannya sendiri di istana dengan mengalahkan para ahli sihirnya dengan mukjizat yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. Bahkan akhirnya ahli sihir Fir’aun bertobat dan beriman kepada Allah Ta’ala.  Semua ini terekam di dalam Al Quran, surat Thaha ayat 43-76.
Para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Metode ini pun juga ada pada masa sahabat. Ketika Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu menyampaikan khutbah di atas mimbar, dia menyampaikan bahwa Umar hendak membatasi Mahar sebanyak 400 Dirham, sebab nilai itulah yang dilakukan oleh RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika ada yang lebih dari itu maka selebihnya dimasukkan ke dalam kas negara. Hal ini diprotes langsung oleh seorang wanita, di depan manusia saat itu, dengan perkataannya: “Wahai Amirul mu’minin, engkau melarang mahar buat wanita melebihi 400 Dirham?” Umar menjawab: “Benar.” Wanita itu berkata: “Apakah kau tidak mendengar firman Allah:
“ …. sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?.” (QS. An Nisa (4): 20)
Umar menjawab; “Ya Allah ampunilah, semua manusia lebih tahu dibanding Umar.” Maka umar pun meralat keputusannya. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/244. Imam Ibnu katsir mengatakan: sanadnya jayyid qawi (baik lagi kuat). Sementara Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan hasan li ghairih)
Inilah Umar bin Al Khathab. Beliau menerima kritikan terbuka wanita tersebut, dengan jiwa besar dia mengakui kesalahannya, serta tidak mengatakan: “Engkau benar, tapi caramu menasihatiku salah, seharusnya engkau nasihatiku secara diam-diam, tidak terang-terangan!” Tidak. Umar tidak sama sekali mengingkari cara wanita itu menasihatinya di depan banyak manusia. Bukan hanya itu, para sahabat yang melihatnya pun tidak pula mengingkari wanita tersebut.  Jikalau wanita itu salah dalam penyampaiannya, maka tentunya serentak dia akan diingkari oleh banyak manusia saat itu. Faktanya tidak ada pengingkaran itu. Ini disebabkan karena keputusan khalifah Umar, akan membawa dampak bagi rakyatnya, maka meralatnya pun dilakukan secara terbuka.
Metode ini juga dijalankan oleh para tabi’in serta generasi selanjutnya. Hal ini terekam dalam kitab-kitab para ulama. Jika, mereka menasihati pemimpin secara empat mata dan sembunyi-sembunyi, tentunya dari mana manusia bisa tahu peristiwa-peristiwa ini? Jika ada manusia meriwayatkan Imam Fulan telah menashati khalifah, atau gubernur, maka ini sudah tidak bisa disebut diam-diam atau empat mata, sebab ada orang lain yang mendengarkan atau melihat, lalu orang tersebut meriwayatkan ke generasi selanjutnya hingga ke tangan kita.
Syaikhan (Bukhari-Muslim) meriwayatkan tentang perilaku gubernur Madinah di mushalla (lapangan tempat shalat Id), Marwan bin Hakam, yang telah merubah tata cara salat Id. Beliau ingin mendahulukan khutbah dahulu, lalu shalat Id. Beliau naik mimbar sebelum shalat, lalu Katsir bin Shalt menegurnya: “Ghayyartum Wallahi!” (Demi Allah kau telah merubah agama!). Nah, kisah ini amat jelas merupakan nasihat tegas kepada pemimpin di depan umum yakni jamaah shalat Id saat itu. Dan, tak ada yang mengatakan hal itu ‘keliru’ apalagi khawarij kepada Katsir bin Shalt. Ya, ini sangat jelas!
Katsir bin Shalt tidak menegur Marwan dengan mendatanginya ke istana, lalu menasihatinya diam-diam. Tidak demikian.
Berikut ini adalah beberapa contoh para Imam kaum muslimin.
Sa’id bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
Tentang kecaman keras Said bin Jubeir Radhiallahu ‘Anhu terhadap gubernur zalim di Madinah, sangat terkenal. Beliau berkata tentang Hajjaj bin Yusuf dan pasukannya, sebagai berikut:
عن أبي اليقظان قال: كان سعيد بن جبير يقول يوم دير الجماجم وهم يقاتلون: قاتلوهم على جورهم في الحكم وخروجهم من الدين وتجبرهم على عباد الله وإماتتهم الصلاة واستذلالهم المسلمين. فلما انهزم أهل دير الجماجم لحق سعيد بن جبير بمكة فأخذه خالد بن عبد الله فحمله إلى الحجاج مع إسماعيل بن أوسط البجلي
“Dari Abu Al Yaqzhan, dia berkata: Said bin Jubeir pernah berkata ketika hari Dir Al Jamajim, saat itu dia sedang berperang (melawan pasukan Hajjaj): “Perangilah mereka karena kezaliman mereka dalam menjalankan pemerintahan, keluarnya mereka dari agama, kesombongan mereka terhadap hamba-hamba Allah, mereka mematikan shalat dan merendahkan kaum muslimin.” Ketika penduduk Dir Al Jamajim kalah, Said bin Jubeir melarikan diri ke Mekkah. Kemudian dia dijemput oleh Khalid bin Abdullah, lalu dbawanya kepada Hajjaj bersama Ismail bin Awsath Al Bajali.”(Imam Muhammad bin Sa’ad, Thabaqat Al Kubra, 6/265. Dar Al Mashadir, Beirut)
Demikianlah salah satu kecaman keras terhadap pemimpin Madinah, oleh seorang ulama fiqih dan tafsir, salah satu murid terbaik Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, yakni Al Imam Sa’id bin Jubeir Rahiallahu ‘Anhu. Dia adalah imamnya para imam pada zamannya, dan manusia paling ‘alim saat itu. Dia tidak mengatakan: “Aku akan pergi ke Hajjaj dan akan menasihatinya empat mata!” Tidak, dan tak satu pun ulama saat itu dan setelahnya, menjulukinya khawarij.
Imam Amr Asy Sya’bi Radhiallahu ‘Anhu terhadap Al Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi
Beliau sezaman dengan Sa’id bin Jubeir, dan juga berhadapan dengan Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafi, hanya saja dia tidak sampai melakukan perlawanan fisik.
Imam Adz Dzahabi juga menceritakan, bahwa Imam Amr Asy Sya’bi telah mengkritik penguasa zalim, Hajjaj bin Yusuf dan membeberkan aibnya di depan banyak manusia. Dari Mujalid, bahwa Asy Sya’bi   berkata:
فأتاني قراء أهل الكوفة، فقالوا: يا أبا عمرو، إنك زعيم القراء، فلم يزالوا حتى خرجت معهم، فقمت بين الصفين أذكر الحجاج وأعيبه بأشياء، فبلغني أنه قال: ألا تعجبون من هذا الخبيث ! أما لئن أمكنني الله منه، لاجعلن الدنيا عليه أضيق من مسك جمل
“Maka, para Qurra’ dari Kufah datang menemuiku. Mereka berkata: “Wahai Abu Amr, Anda adalah pemimpin para Qurra’.” Mereka senantiasa merayuku hingga aku keluar bersama mereka. Saat itu, aku berdiri di antara dua barisan (yang bertikai). Aku menyebutkan Al Hajaj dan aib-aib yang telah dilakukannya.” Maka sampai kepadaku (Mujalid), bahwa dia berkata: “Tidakkah kalian heran dengan keburukan ini?! Ada pun aku, kalaulah Allah mengizinkan mengalahkan mereka, niscaya dunia ini akan aku lipat lebih kecil dari kulit Unta membungkusnya.” (Ibid, 4/304)
Demikianlah Imam Amr Asy Sya’bi. Beliau mengkritik Al Hajjaj secara terang-terangan, di antara dua pasukan yang bertikai. Dia tidak mengatakan: “Aku akan temui Al hajjaj secara empat mata, lalu aku akan beberkan aib-aibnya dan menasihati dia secara sembunyi.” Tidak demikian.
Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhuterhadap Ibnu Hubairah
Beliau dikenal sebagai orang yang paling tegas terhadap Ahli bid’ah dan penguasa yang zalim.  Dia pun secara terang-terangan menegur penguasa zamannya –yakni Ibnu Hubairah- di depan orang lain. Sebenarnya, Ibnu hubairah adalah salah satu pejabat tinggi dalam pemerintahan Khalifah Marwan.
Berikut ini yang diceritakan Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani:
جعفر بن مرزوق، قال: بعث ابن هبيرة إلى ابن سيرين والحسن والشعبي، قال: فدخلوا عليه، فقال لابن سيرين: يا أبا بكر ماذا رأيت منذ قربت من بابنا، قال: رأيت ظلماً فاشياً، قال: فغمزه ابن أخيه بمنكبه فالتفت إليه ابن سيرين، فقال: إنك لست تسأل إنما أنا أسأل، فأرسل إلى الحسن بأربعة آلاف وإلى ابن سيرين بثلاثة آلاف، وإلى الشعبي بألفين؛ فأما ابن سيرين فلم يأخذها.
Ja’far bin Marzuq berkata, “Ibnu Hubairah pernah memanggil Ibnu Sirin, Al Hasan (Al Bashri), dan Asy Sya’bi, dia berkata: “Masuklah kalian.” Maka dia bertanya kepada Ibnu Sirin: “Wahai Abu Bakar, apa yang kau lihat sejak kau mendekat pintu istanaku?” Ibnu Sirin menjawab: “Aku melihat kezaliman yang merata.” Perawi berkata: Maka saudaranya menganggukan tengkuknya, dan Ibnu Sirin pun menoleh kepadanya. Lalu dia berkata (kepada Ibnu Hubairah): “Bukan kamu yang seharusnya bertanya, tetapi akulah yang seharusnya bertanya.” Maka, Ibnu Hubairah akhirnya memberikan Al Hasan empat ribu dirham, Ibnu Sirin tiga ribu dirham, dan Asy Sya’bi dua ribu. Ada pun Ibnu Sirin dia  tidak mengambil hadiah itu.” (Hilyatul Auliya’, 1/330. Mauqi’ Al Warraq)
Imam Adz Dzahabi mengatakan:
قال هشام: ما رأيت أحدا عند السلطان أصلب من ابن سيرين
“Berkata Hisyam: Aku belum pernah melihat orang yang paling tegas terhadap penguasa dibanding Ibnu Sirin.”(Siyar A’lam An Nubala, 4/615)
Inilah Imam Muhammad bin Sirin Radhiallahu ‘Anhu, dia menegur kezaliman yang ada dalam istana, di depan banyak orang dan ulama.  Mereka seperti Al Hasan dan Asy Sya’bi, pun tidak mengingkarinya. Ibnu Sirin tidak mengatakan kepada Ibnu Hubairah: “Aku ingin katakan kepadamu secara rahasia, bahwa kezaliman di istanamu telah merata!” Tidak demikian.
Lagi pula, tahu dari mana Hisyam, kalau Ibnu Sirin adalah manusia paling tegas terhadap penguasa jika dia menegurnya secara sembunyi-sembunyi?
Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu terhadap Khalifah Al Mahdi
Siapa yang tidak kenal dengan nama ini? Imam Ahlus Sunnah, muara para ulama pada zamannya. Di depan para sahabatnya, dia pun pernah secara terang-terangan menegur dan menasihati Khalifah Al Mahdi yang sedang bersama pengawalnya, bahkan membuatnya marah.  Berikut ini ceritanya,  sebagaimana diceritakan oleh Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani.
Dari ‘Ubaid bin Junad, katanya:
عطاء بن مسلم، قال: لما استخلف المهدي بعث إلى سفيان، فلما دخل خلع خاتمه فرمى به إليه، فقال: يا أبا عبد الله هذا خاتمي فاعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة، فأخذ الخاتم بيده، وقال: تأذن في الكلام يا أمير المؤمنين. قال عبيد: قلت لعطاء: يا أبا مخلد قال له: يا أمير المؤمنين. قال: نعم، قال: أتكلم علي أني آمن. قال: نعم، قال: لا تبعث إلي حتى آتيك، ولا تعطني شيئاً حتى أسألك، قال: فغضب من ذلك وهم به فقال له كاتبه: أليس قد أمنته يا أمير المؤمنين. قال: بلى، فلما خرج حف به أصحابه، فقالوا: ما منعك يا أبا عبد الله وقد أمرك أن تعمل في هذه الأمة بالكتاب والسنة؟ قال: فاستصغر عقولهم ثم خرج هارباً إلى البصرة.
’Atha  bin Muslim berkata: “Ketika masa kekhalifahan Al Mahdi, dia berkunjung ke rumah Sufyan. Ketika dia masuk, dia melepaskan dan melemparkan cincinnya kepada Sufyan. Lalu dia berkata: “Wahai Abu Abdillah, inilah cincinku maka berbuatlah terhadap umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah.” Maka Sufyan mengambil cincin itu dengan tangannya, lalu berkata: “Izinkan aku berbicara wahai amirul mu’minin.” Berkata ‘Ubaid: Aku berkata kepada ‘Atha bin Muslim: “Hai Abu Makhlad, dia (Sufyan) berkata kepada Al Mahdi: “Wahai Amirul mu’minin?” ‘Atha menjawab: “Ya.”
Sufyan berkata: “Apakah aku akan aman jika aku bicara?” Al Mahdi menjawab: :Ya.” Sufyan berkata:“Jangan kau kunjungi aku hingga akulah yang mendatangimu, dan janganlah memberiku apa-apa sampai aku yang memintanya kepadamu.” ‘Atha berkata: “Maka marahlah Al Mahdi karena itu, dan dia berangan ingin memukulnya karenanya. Maka, berkatalah sekretarisnya kepadanya: “Bukankah kau sudah mengatakan bahwa dia aman wahai Amirul Mu’minin?” Al Mahdi menjawab: “Tentu.” Maka, ketika dia keluar, maka para sahabat Sufyan  mengelilinginya dan bertanya: “Apa yang dia larang kepadamu wahai Abu Abdillah, apakah dia memerintahkanmu untuk memperlakukan umat ini dengan Al Quran dan As Sunnah?” Sufyan menjawab: “Remehkanlah akal mereka.” Lalu Sufyan Ats Tsauri melarikan diri ke Bashrah.” (Hilyatul Auliya’, 3/166. Mauqi’ Al Warraq)
Demikianlah Imam Sufyan Ats Tsauri, memberikan teguran yang mendalam, bahkan meminta agar para sahabatnya meremehkan akal/kecerdasan Al Mahdi dan pengikutnya. Dia tidak mengatakan: “Biarkanlah dia, aku akan menasihatinya secara empa mata.” Tidak. Dia langsung menegurnya, walau di depan orang yang bersangkutan dan para pengawalnya. Inilah Imam Ahlus Sunnah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Selain seorang ulama yang agung, beliau juga seorang mujahid. Tidak seperti prasangka sebagian kecil manusia, yang menuduhnya tidak pernah ikut berperang bersama kaum muslimin. Justru beliau adalah bintangnya dan pemimpin mereka.
Beliau juga sangat tegas dengan penyimpangan penguasa walau pun penguasa itu muslim.  Hal itu dia buktikan dengan nasihatnya yang berani dan secara terbukan kepada Sultan Ibnu Ghazan. Syaikh Ahmad Farid menceritakan:
“Tatkala Sultan Ibnu Ghazan berkuasa di Damaskus, Raja Al Karaj datang kepadanya dengan membawa harta yang banyak agar Ibnu Ghazan memberikan kesempatakan kepadanya untk menyerang kaum musimin Damaskus.”
(Demikianlah rencana jahat Sultan, ingin bekerja sama dengan raja musuh untuk menyerang kaum muslimin). Lalu Syaikh Ahmad Farid melanjutkan:
“Namun berita ini sampai ke telinga Syaikh Ibnu Taimiyah. Sehingga ia langsung bertindak menyulut api semangat kaum muslimin untuk menentang rencana tersebut dan menjanjikan kepada mereka suatu kemenangan, keamanan, kekayaan, dan rasa takut yang hilang. Lalu bangkitlah para pemuda, orang-orang tua dan para pembesar mereka menuju sultan Ghazan.”
(Inilah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ia bersama umat Islam lainnya  menuju istana Sultan untuk menentang kebijakan dan rencana jahatnya bersama Raja Al Karaj untuk menyerang kaum muslimin Damaskus. Inilah yang orang sekarang bilang demonstrasi. Imam Ibnu Taimiyah tidak mengatakan: “Aku akan nasihati Sultan Ghazan secara empat mata.” Justru ia melakukannya bersama umat Islam secara terang-terangan.  Apa yang akan dikatakan dan dilakukan oleh Imam Ibnu Taimiyah, jika saat ini dia melihat ada sebuah negara muslim yang meminta pertolongan Amerika Serikat untuk menyerang kaum muslimin Iraq? Atau Presiden yang bermesraan dengan Zionist Yahudi dan menutup jalur bantuan menuju Gaza, atau mengizinkan tentara kafir membuka pangkalan militer di negeri muslim agar mereka mudah mengendalikan negeri-negeri muslim? Dahulu ada Sultan Ibnu Ghazan dan Raja Al Karaj yang bermesraan, namun masih ada Imam Ibnu Taimiyah. Saat ini, ada pemimpin negeri muslim bermesraan dengan pemimpin kolonialisme modern, AS, namun, saat ini tidak ada yang seperti Imam Ibnu taimiyah!)
Selanjutnya Syaikh Ahmad Farid mengatakan:
“Tatkala Sultan Ghazan melihat Syaikh Ibnu Taimiyah, Allah menjadikan hati Sultan  Ghazan mengalami ketakutan yang hebat terhadapnya sehingga ia meminta Syaikh Ibnu Taimiyah agar mendekat dan duduk bersamanya.
Kesempatan tersebut digunakan Syaikh Ibnu Taimiyah untuk menolak rencananya, yaitu memberikan kesempatan keada Raja Al Karaj yang hina untuk menghabisi umat Islam Damaskus. Ibnu Taimiyah memberitahu Sultan Ibnu Ghazan tentang kehormatan darah muslimin, mengingatkan dan memberi nasihat kepadanya. Maka Ibnu Ghazan menurut nasihat Ibnu Tamiyah tersebut. Dari situ, terselamatkanlah darah-darah umat Islam, terjaga isteri-isteri mereka, dan terjaga budak-budak perempuan mereka.” (Selengkapnya lihat 60 Biografi Ulama Salaf, Hal. 797-798)
Imam Izzuddin bin Abdissalam Rahimahullah
Beliau dijuluki Shulthanul ‘Ulama (pemimpinnya para ulama) pada masanya.  Dialah ulama yang sangat pemberani terhadap kesewenangan penguasa. Ia menegur pemimpin yang menyimpang langsung di depannya dan dihadapan banyak manusia, bahkan juga di mimbar khutbah Jumat.
Kami akan kutipkan sebuah peristiwa heroik beliau berikut ini:
Syaikh Al Baji (murid Imam Izzudn bin Abdisalam) mengatakan: “Syaikh kami, Izzuddin pergi kepada Sultan Najmuddin Ayyub pada hari ‘Id di Qal’ah (benteng Shalahuddin).
Di sana ia menyaksikan para prajurit yang berbaris di depan Sultan Najmuddin dan dewan kerajaan saat itu. Suasana kerajaan saat itu sangat megah. Sultan Najmuddin keluar kepada mereka dengan memakai perhiasan sebagaimana adat para Sultan di Mesir. Para pejabat saat itu pun sujud mencium tanah di depan sang Sultan.
Melihat peristiwa tersebut Syaikh Izzuddin menoleh kepada Sultan Najmuddin dan berteriak memanggilnya, Wahai Ayyub! Apa hujjahmu di hadapan Allah ketika Dia berkata kepadamu,”Aku telah berikan kerajaan Mesir kepadamu lalu kamu memperbolehkan khamr!” Sultan Najmuddin Ayyub berkata, “Apakah ini terjadi?” Syaikh Izzuddin menjawab, “Ya, di toko seorang perempuan telah dijual minuman khamr dan hal-hal lain yang munkar, sementara kamu bergelimang dalam kenikmatan kerajaan ini.”
Syaikh Izzuddin memanggilnya (sultan) dengan suara sangat keras, sementara itu para prajuritnya membisu dan keheranan. Lalu Sultan Najmuddin Ayyub berkata, :Wahai Tuanku, itu bukan perbuatanku, ini sudah ada sejak zaman ayahku.” Syaikh Izzuddin berkata: “Kamu termasuk golongan orang yang mengatakan:
“Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama,..” (QS. Az Zukhruf (43): 22)
Lalu Sultan Ayyub merencanakan meusnahkan toko tersebut.” (Ibid, 747-748)
Inilah Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, dengan suara lantang dia mengkritik sultan di depan banyak manusia, dan hal itu efektif sebagai presure (tekanan) agar sultan mau menerima nasihatnya.
Bahkan, lebih berani lagi Imam Izzuddin bin Abdissalam menganggap bahwa para sultan saat itu masih terjerat hukum perbudakan sehingga para sultan adalah milik baitul mal kaum muslimin. Para sultan ini boleh dijual untuk kemaslahatan kaum muslimin. Hingga wakil sultan marah dan berkata: “Bagaimana Syaikh ini memanggil kami dan ingin menjual kami? Sementara kami adalah raja-raja dunia. Demi Allah, aku akan penggal kepalanya!”
Namun yang terjadi ketika wakil sultan datang ke rumah Imam Izzuddin bin Abdissalam, justru pedangnya terjatuh, badannya gemetar karena kewibawaan Imam Izzuudin. Wakil sultan  berkata: “Wahai Tuanku, apa yang kau inginkan?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Aku memanggil dan menjual kalian.” Wakil sultan bertanya: “Untuk apa kau menjual kami?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Demi kemaslahatan umat Islam.” Wakil sultan bertanya lagi: “Siapa yang menerimanya?” Syaikh Izzuddin menjawab: “Akulah yang menerimanya.” Lalu para pejabat pemerintah dipanggil satu persatu dan dijual dengan harga mahal. Hasil penjualan mereka digunakan untuk kemaslahatan umat Islam. Ini adalah peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya.”(Ibid, Hal. 749-750)
Ada peristiwa yang mirip dengan masa Imam Ibnu Tamiyah. Ibnu As Subki menceritakan tentang penguasa Damaskus bernama Shalih Ismail, panggilannya Abu Al Khaisy. Dia berkolaborasi dengan pasukan Eropa untuk menyerahkan kota Shida dan beneng Asy Syaqif kepada Eropa. Tindaka ini dikecam oleh Syaikh Izzuddin sehingga dia tidak mendoakannya dalam khutbah. Beliau tidak sendiri dalam hal ini. Beliau ditemani oleh Abu Amr bin Al Hajib Al Maliki. Pengecaman tersebut telah membaut sultan marah. (Ibid, Hal. 750)
Inilah Al Imam Al ‘Izz bin Abdissalam, salah satu Imam Ahlus Sunnah bermadzhab syafi’i. Imam Ad Dzahabi menyebutnya sebagai seorang yang sudah taraf mujtahid, dan Imam As Suyuhi juga menyebukan di akhir hayatnya dia tidak lagi terika madzhab, sudah berfatwa dengan fatwanya sendiri.
Demikianlah. Sebenarnya masih banyak contoh lain dari para ulama. Namun, nampaknya ini sudah cukup menggambarkan bahwa menasihati penguasa secara terbuka, bukanlah hal yang tercela dan bukan pula barang baru. Justru ini adalah perbuatan mulia  yang membutuhkan keberanian sebagaimana Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Izzuddin bin Abdissalam.
Menasihati pemimpin, baik secara sembunyi atau terbuka, tidaklah kita melihat dari sisi benar-salah. Melainkan dari sisi mana di antara keduanya yang lebih tepat guna dan efektif dalam merubah penyimpangan penguasa. Tentu hal ini perlu kejelian dan analisa. Bisa jadi ada penguasa yang hanya bisa berubah dengan tekanan dari rakyatnya, ada juga yang sudah bisa berubah walau di nasihati oleh orang terdekatnya secara rahasia. Oleh karena itu, ketenangan dan kejelian sangat diperlukan dalam memutuskan masalah ini.
Dan, yang jelas tak satu pun para ulama Islam mengatakan, bahwa menasihati pemimpin secara terbuka adalah bentuk pemberontakan bahkan khawarij. Ini adalah pengertian yang amat jauh. Tidak pantas menyamakan pemberontakan dengan nasihat. Sebab yang satu berdosa, dan yang lain berpahala dan mulia. Tak pantas pla hal itu  disamakan dengan keluarnya kaum khawarij terhadap pemerintahan Ali. Sebab, yang kita bahas adalah tentang penguasa atau pemimpin yang zalim, bukan pemimpin yang adil seperti Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu.
Demikianlah sikap pertama, menasihati penguasa zalim, baik dengan diam-diam, atau terang-terangan. Kedua cara ini tergantung kesalahan yang dibuat oleh penguasa tersebut, dan tingkat efektifitasnya. Wallahu A’lam
Sikap Kedua: Tidak Mentaatinya
Tidak mentaati penguasa yang telah keluar dari tuntunan syara’, baik perilakunya, keputusannya, dan undang-undangnya, telah dikemukakan Al Qur’an dan As Sunnah yang suci. Al Qur’an dan As Sunnah tidak pernah memberikan ketaatan mutlak kepada makhluk. Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan RasulNya. Ini telah menjadi kesepakatan ulama sejak dahulu hingga kini, dan tak ada perselisihan di antara mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada RasulNya, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir …” (QS. An Nisa: 59)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam tafsirnya berkata, “Perintah taat kepada Ulil Amri terdiri dari para penguasa, pemimpin, dan ahli fatwa.” Ia mengatakan ini bukanlah perkara yang mutlak, “tetapi dengan syarat bahwa ia tidak memerintahkan maksiat kepada Allah. Sebab jika mereka diperintah berbuat demikian, maka tidak ada ketaatan seorang makhluk dalam kemaksiatan terhadap Khaliq. Mungkin inilah rahasia peniadaan fiil amr (kata kerja perintah) untuk mentaati mereka (athi’u), yang tidak disebutkan sebagaimana layaknya ketaatan pada Rasul. Karena Rasul hanya memerintah ketaatan kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaatinya, ia telah taat kepada Allah. Sedangkan Ulil Amri, maka perintah mentaati mereka terikat syarat, yaitu sebatas tidak melanggar atau bukan maksiat.” (Tafsirul Karim ARahman fi Tafsir KalamAl Manan1/183. Cet. 1. 2000M-1420H. Muasasah Ar Risalah)
Imam Ibnu Katsir berkata, tentang makna Ulil Amri,“Ahli fiqh dan Ahli Agama, demikian juga pendapat Mujahid, ‘Atha, Hasan Al Bashri, dan Abul ‘Aliyah.” Ibnu Katisr juga mengatakan Ulil Amri bisa bermakna umara. Lalu ia berkata: (Taatlah kepada Allah) maksudnya ikuti kitabnya, (taatlah kepada Rasul) maksudnya ambillah sunahnya, (dan ulil amri di antara kalian) yaitu dalam hal yang engkau diperintah dengannya berupa ketaatan kepada Allah dan bukan maksiat kepada Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makluk dalam maksiat kepada Allah. Sebagaimana dalam hadits shahih “Sesungguhnya ketaatan hanya dalam hal yang ma’ruf” (HR. Bukhari). dan imam Ahmad meriwayatkan dari Imran bin Hushain bahwa RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah.” (Tafsir Al Qur’anul Azhim2/345. Cet. 2. 1999M-1420H. Dar Ath Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’)
Imam Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad, biasa dikenal Imam Al Baidhawi, berkata dalam tafsirnya, ketika mengomentari surat An Nisa’, ayat 59 (Athi’ullaha wa athi’ur rasul wa ulil amri minkum), bahwa yang dimaksud dengan ‘pemimpin’ di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sesudahnya, seperti para khalifah, hakim, panglima perang, di mana manusia diperintah untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat adil, wajib mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu ‘alal haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, 1/466)[1]
Imam Ar Razi mengatakan, taat kepada  Allah, Rasul, dan Ahli ijma’ adalah pasti (qath’i), ada pun terhadap pemimpin dan penguasa, tidaklah taat secara pasti,bahkan kebanyakan adalah haram, karena mereka tidaklah memerintah melainkan dengan kezaliman (li annahum Laa ya’muruuna illa bizh zhulmi). (Mafatihul Ghaib, 5/250)
Masih banyak ayat lain yang memerintahkan tidak mentaati manusia (penguasa) yang zalim. Di antaranya firman Allah Ta’ala:
“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)
Berkata Abul A’la Al Maududi dalam Al Hukumah Al Islamiyah, “Janganlah engkau semua mentaati perintah para pemimpin dan panglima yang kepemimpinannya akan membawa kerusakan terhadap tatanan kehidupan kalian.”
Ayat lain:
“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi: 28)
Taat kepada penguasa yang zalim merupakan bentukta’awun (tolong menolong) dalam dosa dan kesalahan, padahal Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan kesalahan.”(QS. Al Maidah:2)
Dalam hadits juga tidak sedikit tentang larangan mentaati perintah kemaksiatan, di antaranya:
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Dengar dan taat atas seorang muslim dalam hal yang ia sukai dan ia benci, selama ia tidak diperintah untuk maksiat. Jika diperintah untuk maksiat, maka jangan dengar dan jangan taat.” (HR. Bukhari. Al Lu’lu’ wal Marjan, no. 1205)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya taat itu hanya dalam hal yang ma’ruf”(HR. Bukhari dari Ali radhiallahu ‘anhuAl lu’lu’ wal Marjan, no. 1206)
Abu bakar Ash Shidiq Radhiallahu ‘Anhu berkata pasca pengangkatannya menjadi khalifah, “Taatlah kalian kepadaku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya, apabila aku melanggar Allah dan RasulNya, maka jangan taat kepadaku.” Ibnu Katsir mengatakan sanadnya shahih. (Al Bidayah wa An Nihayah, 5/269. Cet. 1. 1988M-1408H. Dar Ihya Ats Turats)
Khalifah Umar Al Faruq radhiallahu ‘anhu juga berkata dalam salah satu khutbahnya, “Sesungguhnya tidak ada hak untuk ditaati bagi orang yang melanggar perintah Allah.”
Ringkasnya, Al Qur’an, As Sunnah, atsar sahabat,mufasirin dan fuqaha, semua sepakat bahwa taat kepada pemimpin hanya jika ia di atas kebenaran, jika dalam pelanggaran maka tidak boleh ditaati.
Sikap Ketiga: Mencopot Pemimpin Zalim dari Jabatannya
Pemimpin merupakan representasi dari umat, merekalah yang mengangkatnya melalui wakilnya (Ahlul Halli wal Aqdi), maka mereka juga berhak mencopotnya jika ada alasan yang masyru’ dan logis.
Bapak sosiolog Islam, Ibnu Khaldun juga mengatakantidak boleh dikatakan ‘memberontak’ bagi orang yang melakukan perlawanan terhadap pemimpin yang fasiq. Beliau memberikan contoh perlawanan Al Husein terhadap Yazid, yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai pemimpin yang fasiq. Apa yang dilakukan oleh Al Husein adalah benar, ijtihadnya benar, dan kematiannya adalah syahid. Tidak boleh dia disebut bughat(memberontak/makar) sebab istilah memberontak hanya ada jika melawan pemimpin yang adil.(Muqaddimah, Hal. 113)
Ketahuilah, yang dilawan oleh kaum khawarij adalah pemimpin yang sah dan adil, yaitu Ali bin Abi Thalibradhiallahu ‘anhu. Sedangkan yang kita bincangkan adalah perlawanan terhadap penguasa yang zalim dan tiran, sebagaimana yang banyak dilakukan aktifis gerakan Islam di banyak negara saat ini. Tentu nilai perlawanan ini tidak sama.
Ternyata pandangan ini dibenarkan oleh banyak ulama (sebenarnya para ulama berselisih pendapat tentang pencopotan penguasa yang zalim).
Imam At Taftazani dalam Syarah al Aqaid an Nafsiyahmeriwayatkan bahwa Imam Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhuberpendapat bahwa Imam bisa dicopot karena kefasikan dan pelanggarannya, begitu juga setiap hakim dan pemimpin lainnya.
Imam Abdul Qahir Al Baghdadi mengatakan, “Jika pemimpin menjauhkan diri dari penyimpangan, maka kepemimpinannya dipilih karena keadilannya, sehingga kesalahannya tertutup oleh kebenaran. Jika ia menyimpang dari jalan yang benar, maka harus dilakukan pergantian, mengadilinya, dan mengambil kekuasaannya. Dengan demikian, ia telah diluruskan oleh umat atau ditinggalkan sama sekali.”
Imam Al Mawardi menyatakan ada dua hal seorang Imam telah keluar dari kepemimpinannya, yaitu ia tidak adil dan cacat fisiknya. Cacat keadilannya bisa bermakna mengikuti hawa nafsu dan melakukan syubhat. Ketidakadilan bisa juga bersifat individu seperti meninggalkan shalat, minum khamr, atau urusan umum seperti menyalahgunakan jabatan. (Imam Al Mawardi,Al Ahkam As Sulthaniyah, Hal. 28).
Imam Al Ghazali berkata, “Seorang penguasa yang zalim hendaknya dicopot dari kekuasaannya; baik dengan cara ia mengundurkan diri atau diwajibkan untuk dicopot. Dengan itu ia tidak dapat berkuasa.”
Imam Al Ijli mengatakan, “Umat berhak mencopot Imam tatkala ada sebab yang mengharuskannya, atau sebagaimana yangdikatakan pensyarah, sebab yang membahayakan umat dan agama.”
Imam Ibnu Hazm berkata, “Imam Ideal wajib kita taati, sebab ia mengarahkan manusia dengan kitabullah dan sunah rasulNya. Jika ada menyimpang dari keduanya, maka harus diluruskan, bahkan jika perlu diberi hukuman had . jika hal itu tidak membuatnya berubah, maka ia harus dicopot dari jabatannya dan diganti orang lain.”
Sebenarnya para ulama ini berbeda pendapat Menurut tentang alasan pencopotannya. Imam Syafi’i dan Imam Al Haramain mensyaratkan jika penguasa itu fasik dan melanggar. Imam Asy Syahrustani mengatakan; kebodohan, pelanggaran, kesesatan, dan kekufuran. Imam Al Baqillani menyebutkan jika Imam telah kufur, meninggalkan shalat wajib, fasik, mengambil harta orang lain, mengajak ke yang haram, mempersempit hak sosial, dan membatalkan hukum-hukum syariat. Imam Al Mawardi menyatakan; ketidak adilan dan cacat fisik.
Sementara Ulama lain (pandangan ahli hadits)  yang berpendapat agar kita bersabar terhadap pemimpin yang zalim, ini juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ada juga ulama yang membenarkan keduanya, antara bersabar atau memberikan perlawanan agar ia dicopot dari jabatannya. Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

[1] Apa yang dikatakan Imam Al Baidhawi juga bantahan bagi pihak yang membatasi makna Ulil Amrihanyalah pemimpin negara (umara) dan khalifah. Mereka menolak jika surat An Nisa (4):  59 ini  dijadikan dalil ketaatan kepada qiyadah dakwah. Cukuplah apa yang dikatakan Imam Al Baidhawi ini untuk mereka. Pembatasan makna Ulil Amri seperti yang mereka katakan jelas kecerobohannya. Para Salaf seperti Ibnu Abbas mengartikan Ulil Amri adalah Ahlul Fiqh wad Din(Ahli fiqih dan agama). Sedangkan Atha’, Mujahid, Hasan Al Bashri, Abul ‘Aliyah mengatakan, maksudnya adalah ulama, sebagaimana tertera dalam tafsir Ibnu Katsir di atas.
—dikutip dari islamedia tulisan Ust. Farid Nu’man Hasan

10 Responses to “Bagaimana Hukum Menggulingkan Pemerintah Muslim Zalim?”

  1. Fifin Says:
    artikel yang menambah wawasan,,,
    manteb nur…
  2. arun1st Says:
    yup, sy kutip lansung dari web islamedia.
  3. Aditya Says:
    Bismillah..
    Nur, menurutku utk point ketiga (mencopot penguasa yang zhalim) perlu diperjelas lagi dalil-dalilnya dari Al Quran dan As Sunnah, syarat-syaratnya, dan sebanyak mungkin kata ulama terdahulu yang sholih mengenai point ini sebab point inilah yang menjadi inti permasalahan sebenarnya, terutama berkaitan dengan isu-isu yang terjadi akhir-akhir ini, yaitu berkaitan dengan desakan seorang penguasa Mesir untuk mundur. Apakah seseorang yang baru masuk kategori zhalim tetapi masih muslim sudah boleh digulingkan? Dan apakah pada semua keadaan kaum muslimin boleh menggulingkan pemerintahan yang telah fasiq/kufur/murtad, ataukah ada syarat tertentu, misalkan adanya kekuatan pada kaum muslimin dan adanya keyakinan bahwa proses penggulingan ini akan berhasil?
    Perlu diperjelas lagi nur, sebab saya lihat point yang ketiga ini malah paling sedikit keterangannya.. Mungkin bisa ditambahkan dari sumber lain..
    Barokallohu fiikum..
  4. Aditya Says:
    Tambahan lagi nur,
    ‘Ubadah ibnu Ash-Shamit Radliyallahu ‘anhu berkata:
    بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَة عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ
    “Kami berbai’at untuk mendengar dan taat dalam keadaan kami suka ataupun terpaksa, dalam keadaan sulit ataupun lapang, dan dalam keadaan penguasa menahan hak-hak kami. Dan beliau membai’at kami agar kami tidak menentang dan menarik/merebut perkara dari pemiliknya (memberontak pada penguasa) kecuali bila kalian melihat kekufuran yang nyata dari penguasa tersebut dimana di sisi kalian ada bukti/keterangan yang nyata (8) dari Allah tentang kekafiran mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)
    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda:
    إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ، فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ، فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ. قَالُوا: أَلاَ نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: لاَ مَا صَلَّوا
    “Sungguh akan memimpin kalian para pimpinan yang kalian fahami perbuatan mereka adalah perbuatan maksiat dan kalian mengingkari perbuatan tersebut dilakukan. Maka barangsiapa yang benci (terhadap kejahatan/kezaliman pimpinan tersebut) sungguh ia telah berlepas diri dan barangsiapa yang mengingkarinya sungguh ia telah selamat, akan tetapi siapa yang ridha dan mengikuti (kejahatan penguasa maka orang itu bersalah).” Para shahabat bertanya: “Apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?” Beliau menjawab: “Tidak boleh, selama mereka masih shalat.” (HR. Muslim no. 1854)
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Yang masyhur dari madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah mereka memandang tidak boleh keluar memberontak kepada para pemimpin dan memerangi mereka dengan pedang, sekalipun pada mereka ada kezaliman. Sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh hadits-hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, karena kerusakan yang ditimbulkan dalam peperangan dan fitnah lebih besar daripada kerusakan yang dihasilkan kezaliman mereka tanpa perang dan fitnah.” (Minhajus Sunnah, 3/213). Beliau rahimahullah juga menyatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sungguh telah melarang untuk memerangi para penguasa/pimpinan, padahal beliau mengabarkan bahwa para pimpinan tersebut melakukan perkara-perkara yang mungkar. Hal ini menunjukkan tidak bolehnya mengingkari penguasa dengan menghunuskan pedang (perang) sebagaimana pandangan kelompok-kelompok yang memerangi penguasa baik dari kalangan Khawarij, Zaidiyyah maupun Mu’tazilah.” (Minhajus Sunnah, 3/214)
  5. arun1st Says:
    Menurut hadits, pemimpin yang adil merupakan golongan pertama yang nanti akan mendapat naungan-Nya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran seorang pemimpin. Salah satu ciri lain pemimpin yang baik menurut Rasul adalah pemimpin yang dicintai rakyatnya dan ia pun mencintai rakyatnya. dan sebaliknya seburuk-buruk pemimpin adalah yg dibenci rakyatnya dan ia pun membenci rakyatnya sendiri. rakyat yg dimaksudnya di sini jg termasuk para ulama yg ahli ilmu dan amal.
    Yang terjadi di mesir sebenarnya bukan merupakan bentuk penggulingan atau pemberontakan. Ia hanyalah kumpulan kekecewaan rakyatnya terhadap kepemimpinan mubarak. Untuk itu, ia meminta dengan damai agar mubarak mundur karena sudah tidak amanah lagi. Rakyat selama 30 tahun sudah mencoba menasihati dengan baik2, namun mubarak tidak pernah mendengar dan terus saja memimpin dg zhalim. bukankah mengatakan kebenaran di hadapan pemimpin yg zhalim merupakan sebaik-baik jihad? Situasi menjadi ricuh saat mubarak tidak memenuhi tuntutan rakyat dan cenderung melakukan perlawanan. bukankah pemimpin pada hakikatnya adalah pelayan rakyat?
    Darimana tahu kalau Mubarak zalim? Terlalu banyak bukti yang bisa dipaparkan. Namun dari sekian banyak itu, ada beberapa yg sangat keterlaluan. Pertama, bagaimana mungkin sbagai seorang muslim membiarkan rakyat palestina dibantai israel dg menutup pintu gerbang mesir-palestina dan tanpa melakukan bantuan apapun. Padahal banyak negara lain yang melakukan langkah kongkrit membantu palestina meskipun mereka bukan negeri muslim. Kedua, bagaimana mungkin sbagai seorang muslim dengan teganya membangun tembok pemisah raksasa yg menjadikan gaza sbagai penjara terbesar dunia? Padahal sudah sangat jelas bahwa sbagai muslim kita bersaudara, jika ada yg sakit, maka kita pun ikut merasa sakit. Ketiga, bagaimana mungkin seorang muslim membiarkan rakyatnya hidup dalam jeratan kmiskinan sementara dirinya bermewah-mewahan di singgasana istananya? bahkan dia berhak mengatur hukum dan undang-undang untuk melanggengkan kekuasaannya berpuluh-puluh tahun dan siap mewariskannya ke anak-anaknya. Mesir dibawah kepemimpinanya begitu mesra berdampingan dg israel dan amerika dan selalu mendapat bantuan milyaran dolar tiap tahunnya.
    Waktu zaman sahabat dulu, sering juga terjadi menasihati secara terang-terangan (kalau istilah sekarang demonstrasi). Bedanya, sebagian besar pemimpin dulu menerima nasihat itu dengan lapang dada (seperti terlihat pada postingan di atas). jika mubarak melakukan hal yg sama, pasti tidak akan terjadi gelombang perlawanan sedemikian dahsyatnya.
    untuk menanggapi hal ini, alangkah baiknya kita melihat kembali kisah seorang gubernur mesir Amr bin Ash dengan khalifah Umar bin Khottob. Amr bin Ash yang termasuk merupakan pahlawan Islam mendapat murka dari Umar lantaran menggusur sebuah gubuk tua milik yahudi untuk diganti dg bangunan masjid. Jika saja saja Amr bin Ash tetap ngotot pada keputusannya, tidak hanya dipecat jabatan dr gubernur, bahkan ia akan dipenggal kepalanya oleh Umar sperti pesan yang tersirat pada goresan huruf alif pada tulang yg diberikan yahudi itu padadnya.
    Bayangkan, ia diancam dipenggal hanya lantaran membangun masjid yg notabene tempat paling mulia di bumi. yang punya tanah itupun hanya seorang yahudi tua. sedangkan pemimpin yg diancam itu adalah orang yg selama ini banyak berjasa untuk islam. tapi itulah hukum islam, ADIL, tidak pandang bulu. bahkan jika fatimah mencuri pun, Rasul akan memotong tangannya sendiri. Bayangkan apa yang akan terjadi pada Mubarak jika Rasul atau Umar masih ada? Dia yg sudah merampas harta rakyat dengan korupsi berpuluh-puluh tahun. Dia yg sudah membiarkan saudara muslim di Palestina terus terjajah dan terbantai israel. dia yg sudah menangkap dan menyiksa dengan kejam sekian banyak rakyatnya hanya karena dicurigai tanpa bukti melawan pemerintah. dia yg sudah membeli sbagian ulama agar mendukung status kuonya. Begitu besarkah dosa seorang amr bin ash dibanding mubarak sehingga ia layak diancam dipenggal? bukankah meminta mubarak mundur atau bahkan menggantinya dengan paksa lebih “sopan” di mata manusia dibanding memenggalnya? Sekali lagi, jika saja dia mendengarkan keinginan rakyatnya, pastilah tidak akan terjadi seperti ini.
    Meski demikian, hal ini kasuistik. Tidak sekonyong-konyong main demonstrasi menuntut pemerintah mundur jika pemerintah bersalah. Perlu dilihat banyak sisi. Perlu pertimbangan banyak ulama yg ahli ilmu dan amal. Sy yakin smua orang muslim pasti ingin kehidupan negerinya aman, adil, dan sejahtera. Sy juga yakin rakyat pasti akan mencintai dan mentaati pemimpin selama ia mencintai rakyatnya, selama ia juga masih metaati perintah Allah dan Rasul-Nya.
    Wallahu a’lam.
    *syukron buat masukannya, barakallahu fiik….
  6. arun1st Says:
    mungkin sy sedikit meluruskan yg terjadi di mesir. di sana tidak ada pedang terhunus. tidak ada bentuk pemberontakan terhadap pemerintahnya. rakyat hanya ingin mubarak dan kroninya mundur dr jabatannya. bedakan antara memberontak dan meminta mundur. jika memberontak, maka golongannya lah yang nanti akan memimpin. selain itu, pada pemberontakan pasti diwarnai tumpahan darah. yg terjadi di mesir sebenarnya damai. mereka hanya datang berduyun-duyun, menginap di lapangan, menuntut mubarak mundur. kekacauan terjadi tatkala militer atau pasukan utusan pemerintah yg tiba-tiba menyerang atau menangkapi rakyatnya.
    melihat di video, mereka rapi di lapangan, tidak membawa senjata. bahkan kalau ada yg mau bergabung, diperiksa dulu untuk memastikan mereka tidak membawa senjata. begitu azan berkumang, jutaan orang tunduk pada Rabb-nya. sekali lagi, kondisi tidak terkendali manakala ada provokasi dari pihak lain. jika provokasi atau penyerangan sudah terjadi, maka kekacauan akan sulit dikendalikan.
  7. arun1st Says:
    anyway, haturnuhun pisan bwt sharing ilmunya. sy jd tambah wawasan baru :)
  8. Aditya Kurniawan Says:
    Walaupun dilakukan dengan kudeta maupun dengan demonstrasi, kedua perbuatan ini bertujuan sama, yaitu bertujuan agar penguasa yang zalim itu turun.Tentang hukum berdemonstrasi sendiri, para ulama telah berfatwa
    Fatwa Asy-Syaikh Al-Imam ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu Ta’ala
    Berkata Syaikh Ibnu Baz rahimahullah sebagaimana dalam majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah edisi ke 38 halaman 210 :
    “Maka uslub (cara, metode) yang baik adalah termasuk wasilah (pengantar/sarana) yang teragung untuk diterimanya suatu kebenaran dan uslub yang jelek lagi kasar temasuk wasilah yang sangat berbahaya kepada tertolak dan tidak diterimanya kebenaran atau menimbulkan kekacauan, kezholiman, permusuhan dan perkelahian. Dan masuk di dalam bab ini apa yang dilakukan oleh sebagian orang berupa muzoharot (demonstrasi) yang menyebabkan kejelekan yang sangat besar terhadap para da’i.
    Maka pawai-pawai di jalan-jalan dan berteriak-teriak itu bukanlah jalan untuk memperbaiki dan (bukan pula jalan) dakwah, maka jalan yang benar adalah dengan berkunjung dan menyurat dengan cara yang paling baik kemudian engkau menasihati pemerintah, gubernur dan pimpinan qobilah dengan jalan ini bukan dengan kekerasan dan demonstrasi.
    Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam menetap 13 tahun di Mekkah, beliau tidak menggunakan demonstrasi dan tidak pula berpawai dan tidak mengancam orang-orang (dengan ancaman) akan dihancurkannya harta mereka dan dilakukan ightiyal (kudeta militer) terhadap mereka.
    Dan tidak diragukan bahwa uslub seperti ini berbahaya bagi dakwah dan para da’i serta menghambat tersebarnya dakwah juga menyebabkan para penguasa dan para pembesar memusuhinya dan menentangnya dengan segala kemampuan.
    Mereka menginginkan kebaikan dengan uslub ini (uslub yang jelek yang disebutkan di atas) akan tetapi yang terjadi adalah kebalikannya, maka adanya seorang da’i kepada Allah yang menempuh jalan para Rasul dan para pengikutnya walaupun waktu menjadi panjang itu lebih baik daripada suatu amalan yang membahayakan dakwah dan membuatnya sempit atau menyebabkan dakwah itu habis sama sekali dan La Haula Wala Quwwata Illa Billah.”
    (Lihat tulisan berjudul Al-Mukhtashor fii Hukmil Muzhoharat karya Abdullah As-Salafy).
    Begitu pula hadits dari
    “Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat …mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati).”
    Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Al Khaitsami dalam Al Majma’ 5/229, Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah 2/522, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah 2/121. Riwayat ini banyak yang mendukungnya sehingga hadits ini kedudukannya shahih bukan hasan apalagi dlaif sebagaimana sebagian ulama mengatakannya. Demikian keterangan Syaikh Abdullah bin Barjas bin Nashir Ali Abdul Karim (lihat Muamalatul Hukam fi Dlauil Kitab Was Sunnah halaman 54).
    Dan peringatan Umar bin Khattab kepada Amr bin Ash rodhiyallohu’anhuma bukanlah dari rakyat kepada pemimpin, tetapi dari atasan kepada bawahan, sehingga tidak bisa diqiyaskan dengan demonstrasi yang terjadi akhir-akhir ini.
    Dan kezaliman yang sangat itu belum bisa dijadikan dalil diperbolehkannya usaha-usaha untuk menurunkan penguasa (termasuk demonstrasi), seperti disebutkan dalam hadits berikut:
    “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kami kemudian membai’at kami. Dan di antara baiatnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara tidak adil. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari orang yang berhak –beliau berkata- kecuali jika kalian melihat KEKUFURAN YANG NYATA, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya juz 13 hal.192, cet. Maktabatur Riyadh Al-Haditsah, Riyadh. HR. Muslim dalam Shahih-nya, 3/1470, cet. Daru Ihya-ut Turats Al-Arabi, Beirut, cet. 1)
    Wallohua’lam..
    Aku di sini bukan berniat untuk berdebat kusir, cuma ingin mengutarakan keterangan para ulama tentang hal ini, sebab hal inilah, permasalahan mengenai pemerintah muslim yang zalim, yang telah menjadi sumber fitnah yang terjadi di tengah kaum muslimin di banyak negara..
    Hanya kepada Allohlah kita memohon pertolongan..
  9. arun1st Says:
    Untuk masalah demonstrasi, memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebagian membolehkannya dengan beberapa syarat, sebagian lagi mutlak mengharamkannya. Dan para ulama itu bukan Nabi yg 100% perkataannya benar. Untuk itulah perintah mentaati ulil amri (termasuk ulama di dalamnya) tidak didahului kata “taatilah” secara tersurat, berbeda dengan perintah mentaati Allah dan Rasul-Nya. Selama dalam ranah perbedaan itu bukan pada hal yg pokok/inti agama, sy pikir bukan menjadi hal besar yg perlu dipermasalahkan. Dan kita diperbolehkan memilih mana yg menurut kita mempunyai hujjah yg lebih kuat.
    Kebanyakan demonstrasi sekarang ini (terutama di Indonesia) memang sangat dekat sekali dg kekerasan karena para pelaku demonstrasinya yg krg memiliki kesabaran dan gampang disulut provokasi. Selain itu, terkadang justru dari pemerintahnya sendiri yg berlaku represif. Mungkin hal ini juga yg membuat sebagian orang anti-demonstrasi (terlepas dari adanya fatwa larangan demonstrasi dr ulama). Demonstrasi sebenernya hanyalah media untuk mengekspresikan pendapat. Kekerasan atau kedamaian di dalamnya sangat bergantung pada orang yg didemonstrasi dan yg mendemonstrasi.
    Kalau zaman Umar dulu, masih ada sistem khilafah islam. Semua harus taat pada seorang khalifah, yaitu Umar. Seorang yahudi tua yg “hanya” dirugikan sebidah tanah dan gubuk tua berdemonstrasi (menyampaikan pendapat) sendirian jauh-jauh dari mesir ke madinah. Demi keadilan, meski hanya untuk 1 orang yahudi, amr bin ash mendapat murka umar. Sebagai khalifah, umar bisa dan berhak memecatnya atau bahkan memenggalnya. Pada kondisi sekarang, sudah tidak ada lagi khilafah islam. Kekhilafahan islam yg sdh berdiri ribuan tahun runtuh dgn arab saudi menjadi negara pertama yg keluar dan resmi tumbang setelah turki digulingkan kemal ataturk. Saat ini, kepada siapa jutaan rakyat mesir berdemo untuk meminta keadilan pemimpinnya? Siapa yg bisa menurunkan pemimpin suatu negeri yg zalim saat tidak ada lagi khalifah?
    Rakyat mesir sebenarnya sudah melakukan apa yg difatwakan Syeikh Bin Baz dengan menasihati mubarak secara baik-baik, melalui surat atau bertemu langsung. Tapi usaha yg telah dilakukan bertahun-tahun tidak membuahkan hasil. Apakah kita akan mengorbankan nasib jutaan rakyat mesir dan palestina hanya demi mubarak dan kroninya? Saat ada yg meneriakkan demonstrasi rakyat dpt menyebabkan pertumpahan darah di mesir, seharusnya mereka juga meneriakkan mubarak yg telah membunuh rakyatnya melalui korupsi dan kemiskinan. Saat ada yg mengatakan haram menumpahkan darah sesama muslim, mereka juga seharusnya menentang mubarak menutup pintu gerbang rafah saat ada invasi militer israel di gaza dan mengecam pembangunan tembok pemisah raksasa di perbatasan mesir-palestina.
    Tidak ada keraguan lagi kalau rakyat dilarang menentang pemimpinnya jika mereka sudah BERBAIAT kepadanya. Itulah yg dijelaskan Rasulullah. Meskipun pemimpin tersebut berbuat tidak adil, selama rakyat sudah mengucapkan sumpah baiat, haram hukumnya melawan pemimpin tersebut. Sekarang, bagaimana kalau rakyat tersebut tidak pernah mengucapkan baiat krn memang pemimpinnya tidak dicintai dan diridhai rakyatnya? Pemimpin yg mendapatkan jabatannya bukan karena hasil musyawarah rakyatnya tp hasil kudeta militer atau hasil pemilu yg dimanipulasi. Sebagaimana kita tahu, mubarak mendapatkan posisinya setelah anwar sadat dan najib hasil dari mengkudeta raja faruk. Kemudian, mubarak bisa bertahan puluhan tahun krn hukum dan UU yg direkayasa begitu juga dg pemilu yg dimanipulasi layaknya zaman soeharto di indonesia dulu.
    Ada pertanyaan yg cukup membingungkan pikiran sy mengenai fenomena ini. Sy kasih ilustrasinya seperti ini. Jika kita mutlak dilarang menentang pemimpin muslim yg sgt zalim (meskipun kita tdk pernah berbaiat kpadanya krn memang proses dia menjadi pemimpin tidak syar’i), bagaimana sikap kita jika misalnya Indonesia nanti diinvasi dan akhirnya dipimpin dan dijajah oleh negeri lain yg kebetulan dipimpin oleh seorang muslim? Misalnya saja Iran dengan pimpinan muslim syiah atau amerika dg pimpinan muslim munafik tiba-tiba menjajah dan memimpin kita? Haruskah kita taat pada pimpinan muslim sperti ini? Tidak ada hak kah bagi kita untuk membebaskan negeri ini dr belenggu pemimpin muslim yg tirani itu? Saat in bentuk penjajahan tidak harus langsung dipimpin oleh pimpinan negeri lain. Cukup dimimpin oleh pimpinan negeri sendiri tapi pada hakikatnya mereka dipimpin oleh pimpinan negeri lain, karena keputusan apapun yg diambil selalu harus lewat persetujuan mereka. Pimpinan ini menjadi hanya menjadi boneka/perpanjangan tangan mereka. Ini pula yg terjadi di mesir dan indonesia, tiba-tiba saja mubarak dan soeharto menjadi presiden. Dengan basis kekuatannya mereka bisa melanggengkan jabatannya berpuluh-puluh tahun. Yang dilakukan rakyat mesir beda dgn kaum khawarij. Kalau kaum khawarij memberontak kepada seorang Ali yg sudah dijamin masuk surga dan tidak pernah menyengsarakan rakyatnya. Sedangkan mubarak belum ada jaminan masuk surga dan kepemimpinannya dirasakan menyengserakan rakyat. Tujuan yg dilakukan rakyat mesir itu semata-mata hanya untuk kemaslahatan mesir itu sendiri. Mereka hanya ingin mubarak mundur, siapa pun yg menggantikannya mereka tidak peduli, asal bukan dari kroni-kroninya mubarak, asal bisa memimpin dengan adil dan amanah.
    Kalau dalam lingkup pimpinan lebih kecil, ada satu fenomena yg juga sedang ramai dibicarakan di Indonesia. Tentang kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI. Dia yg sudah sgt jelas terlibat kasus korupsi (pernah di penjara) dan tidak pernah memberikan prestasi bagi timnas. Apakah salah kalau kita memintanya mundur meskipun dia seorang muslim? Ini demi kebaikan persepak-bolaan indonesia daripada sekedar kepuasan NH dan kroninya. Kita juga tidak berniat menggulingkannya, kita hanya memintanya mundur dan digantikan siapapun asal bukan dari kroniya, asal amanah dan tidak korupsi. Sudah banyak surat dan nasihat yg secara baik-baik disampaikan kpd beliau, tp beliau tetap keras kepala. Mungkin akhirnya demonstrasi yg dipilih rakyat untuk mengungkapkan kekecewaannya. Ini hanya masalah piihan metode dan demonstrasi pasti pilihan terakhir yg diambil jika jalan baik-baik tidak membuahkan hasil. Tapi demonstrasi di Indonesia memang terkadang keterlaluan, sangat mudah tersulut emosi. Bahkan tidak jarang ketika sdh masuk waktu sholat, mereka tetap saja berteriak-teriak tanpa menghiraukan panggilan azan. Klo ini maslaah oknum yg salah, bukan metode. Kita tidak bisa menggeneralisir smua demo pasti ricuh. Ada juga yg damai tp jarang terekspos media. Bukankah media kita lebih suka memberitkan berita yg “menjual”?
    Pada akhirnya, kita kembali ke masalah perbedaan. Perbedaan dalam islam tidak menjadi masalah selama kita saling menghormati pendapat dan selama perbedaan itu masih dlm ranah cabang bukan pokok islam. Bukankah keempat imam mazhab tidak pernah saling memaksakan pendapat satu sama lain? Bukankah imam syafii menghormati pendapat gurunya imam malik dan sebaliknya imam malik menghormati pendapat muridnya imam syafii, padahal pendapat mereka ada yg saling bertentangan? Jika mereka saja yg ahli ilmu dan amal tidak pernah mempermasalahkan perbedaan selama ada hujjah masing-masing yg kuat, tidak sepatutnya kita yg masih awam ini mempermasalahkannya. Karena kebodohan kita ini, yg bisa kita lakukan adalah mengikuti pendapat para ulama sesuai dg keyakinan kita akan hujjah mereka (hujjah tersebut hrs sesuai dg tuntunan Al-Quran dan sunnah)

baca lagi link di bawah 

https://arun1st.wordpress.com/2011/02/08/bagaimana-hukum-menggulingkan-pemerintah-muslim-zalim/

http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/pemimpin-yang-zholim.html

http://mestikasunnah.blogspot.com/2012/04/pemimpin-yang-zalim-lagi-penipu-kepada.html

http://www.eramuslim.com/suara-langit/undangan-surga/lima-pentolan-thaghut-2-pemerintah-zalim.htm

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan Mesej