لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang Mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali [192] dengan meninggalkan orang-orang Mu'min. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Qs. Al Imran (3): 28)
[192] Wali jamaknya auliyaa; berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.
Kata “Auliya” dalam ayat di atas merupakan bentuk jamak dari kata “Wali” yang berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.
Makna Umum Ayat
Syaikh Muhammad Ali As Shabuni dalam Tafsir Ayatil Ahkam(hal. 312-318) mengatakan, secara umum makna ayat di atas adalah bahwa Allah SWT melarang para hambaNya yang Mukmin melakukan persahaban dengan orang-orang kafir, atau melakukan pendekatan kepada orang-orang kafir dengan sikap hangat, bersahabat dan berkawan akrab.
Sebab, tidak layak bagi orang-orang Mukmin bersahabat dengan musuh-musuh Allah. Memang tidak masuk akal seseorang bisa mengumpulkan sikap mencintai Allah SWT dan sikap mencintai musuh-musuh Allah SWT sebab hal itu berarti megnumpulkan dua hal yang bertentangan. Siapa saja yang mencintai Allah pasti akan membenci musuh-musuh Allah.
Sebab Turunnya Ayat
Imam At Thabari mengatakan bahwa ayat ini turun terhadap orang-orang Mukmin yang punya sahabat dari kalangan Yahudi di Madinah. Sebagian sahabat yang lain mengatakan kepada mereka: “Jauhilah kaum Yahudi itu dan hati-hatilah dalam bersahabat dengan mereka agar kalian tidak terfitnahi agama kalian dan agar mereka tidak menyesatkanmu setelah keimanan kalian.”
Maka sahabat yang diingatkan itu enggan menerima nasihat tersebut dan tetap melanjutkan persahabatan dan pertemanan mereka dengan kaum Yahudi. Lalu turunlah Firman Allah SWT tersebut.
Imam Al Qurtubi meriwayatkan dalamm tafsirnya dari Ibnu Abbas r.a bahwa ayat tersebut diturunkan berkaitan denganUbadah bin As Shamit Al Anshari r.a yang punya sekutu Yahudi.
Tatkala Baginda Rasulullah SAW memimpin pasukan Muslimin dalam Perang Ahzab, Ubadah menyampaikan bahwa dia punya 500 orang sekutu dari kalangan kaum Yahudi yang menurutnya bisa digunakan untuk memerangi perang melawan musuh. Maka turunlah Firman Allah SWT tersebut.
Dua riwayat di atas jelas menunjuk pada makna umum di atasyakni kaum Mukmin dilarang bersahabat dengan orang-orang kafir, siapapun mereka.
Beberapa ayat yang melarang persahabatan dengan kaum kuffar
Beberapa ayat yang memiliki makna yang hampir sama dengan ayat di atas antara lain adalah Firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah (5): 51)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS. Al Maidah (5): 57)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاء تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءكُم مِّنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَن تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِن كُنتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاء مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنتُمْ وَمَن يَفْعَلْهُ مِنكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاء السَّبِيلِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS Al Mumtahanah (60) : 1)
Bolehlah minta pertolongan kepada orang kafir dalam peperangan?
Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pertama, Yang melarang. Yakni golongan Malikiyah. Dasarnya adalah mengambil zhahir dari ayat di atas. Dan beristidlal dengan kisah Ubadah bin shamit r.a. yang telah disebutkan merupakan sebab turunnya ayat ini.
Juga diriwayatkan bahwa ada seseorang lelaki pemberani yang punya kemampuan berperang telah meminta izin kepada Rasulullah untuk ikut berperang. Lalu Rasulullah SAW menolaknya.
Beliau SAW bersabda: “Kembalilah saya tidak akan minta bantuan kepada seorang musyrik”.
Kedua, Pendapat jumhur Ulama dari kalangan madzhab Syafiiy, Hanafi, dan Hambali yang mengatakan boleh minta bantuan orang-orang kafir dalam perang dengan dua syarat, yakni
Ada kebutuhan kepada mereka
Ada kepercayaan kepada mereka.
Dasarnya adalah perbuatan Nabi SAW yang pernah minta bantuan kepada Yahudi Bani Qainuqa dan juga kepada Shafwan bin Umayyah yang musyrik.
Bolehkah mengangkat orang-orang kafir untuk mengurus urusan kaum Muslimin?
Berdasarkan ayat ini, sebagian Ulama berpendapat tidak membolehkan menyerahkan wewenang mengurus kaum Muslimin sedikitpun kepada orang-orang kafir. Dan tidak boleh menjadikan mereka sebagai pegawai dan pembantu.
Sebagaimana tidak boleh mengagungkan mereka di majelis dan berdiri menyambut kedatangaannya. Di riwayatkan bahwaKhalifah Umar Bin Khathtab melarang Abu Musa Al Asy’arimempekerjakan di kantor seorang kafir dzimmi dan memerintahkannya memberhentikannya.
Imam Al Jasshash mengatakan bahwa di dalam ayat ini ada petunjuk bahwa orang kafir tidak boleh di beri kekuasaan (wilayah) menguasai kaum Muslimin sedikitpun. Bahkan seorang kafir yang punya anak kecil Muslim lantaaran ibunya masuk Islam tidak punya hak kewalian terhadap anaknya tersebut dalam berbagai tindakan anak itu termasuk dalam mengawinkannya.
Larangan ini didukung oleh Firman Allah SWT:
الَّذِينَ يَتَرَبَّصُونَ بِكُمْ فَإِن كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِّنَ اللّهِ قَالُواْ أَلَمْ نَكُن مَّعَكُمْ وَإِن كَانَ لِلْكَافِرِينَ نَصِيبٌ قَالُواْ أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُم مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ فَاللّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
“(Yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang Mu'min). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata : "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu ?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata : "Bukankah kami turut memenangkanmu [363], dan membela kamu dari orang- orang mu'min ?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa’ (4) :141)
[363] Yaitu dengan jalan membukakan rahasia-rahasia orang mu'min dan menyampaikan hal ihwal mereka kepada orang- orang kafir atau kalau mereka berperang di pihak orang mu'min mereka berperang dengan tidak sepenuh hati.
Kesimpulan:
Allah SWT melarang kaum Muslimin menjadikan orang-orang kafir sebagai sahabat dan teman dekat dan bergaul dengan mereka dengan kasih sayang dan saling tolong layaknya dua sahabat akrab.
Larangan tersebut tidak berarti kaum Muslim dilarang bermuamalah seperti jual beli, sewa menyewa, hutang piutang, dan lain-lain. Yang dilarang adalah berhubungan akrab atau menjadikan teman dekat. Wallahu’alam
KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i
Pimpinan Perguruan As Syafi’iyyah
Suara Islam Edisi 65, tanggal 17 April – 1 Mei 2009 M / 21 Rabiul Akhir – 6 Jumadil Awwal 1430 H, Hal 21
http://www.ardyerlangga.com/2012/08/larangan-bersahabat-dengan-orang-orang.html
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan Mesej