KEMULIAAN MASJID / Sambutan Anggota MUI Pusat
KEMULIAAN MASJID
SEBAGAI RUMAH ALLAH
Sudah menjadi kepercayaan iman bagi seluruh umat Islam sedunia, bahwa masjid adalah rumah Allah di muka bumi ini. Masjid bukan seperti bangunan biasa, yang dapat diperlakukan seenaknya oleh manusia. Ada tata tertib yang wajibdilaksanakan untuk menjaga kesucian ‘Rumah Allah’ ini. Dan, bagi umat islam sedunia, menjaga keberadaan masjid adalah suatu kewajiban dan keniscayaan. Harga diri umat Islam di satu negeri tercermin pada sejauh mana kondisi dan keadaan masjidnya. Jika masjidnya buruk, maka buruk jugalah harga diri umat di negeri itu. Namun, jika masjidnya baik, rapi, dan makmur, maka menjadi tinggilah harga diri umat di daerah itu. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu dalam satu khutbahnya, menambahkan bahwa ciri-ciri orang munafik adalah orang yang membangun rumah pribadinya lebih besar dan lebih indah dari masjid di kampungnya!
Ada banyak hadis Nabi yang menceritakan keagungan masjid. Di antaranya adalah; “Masjid adalah salah satu dari rumah-rumah Allah di muka bumi.”, “Siapa mendatangi masjid berarti dia menjadi tetamu Allah.” “Barangsiapa membangun masjid, maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah istana di surga”, dan lain-lain sebagainya.
Di dalam Al qur’an ada juga beberapa ayat yang menceritakan tentang masjid dan hukum-hukum mengenainya di antaranya surat At Taubah ayat: 18 “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah, ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Dalam ayat di atas, Allah menghubungkan keimanan dan derajat ketinggian iman seseorang tergantung sejauh mana usahanya memakmurkan masjid sebagai “Rumah Allah”.
Hubungan Negara dan Masjid
Negara sebagai pemegang kuasa semestinya menjaga keberadaan masjid di dalam ruang-lingkup negaranya. Di mana pun negara itu berada, ia akan menjadi negara yang terhormat bila memelihara rumah ibadah, terutama masjid.
Dalam sejarah, salah satu negara beradab yang paling tua di dunia adalah Cina. Sebagaimana kita tahu selama hampir seratus tahun Cina dikuasai dan diperintah oleh Faham Komunis yang atheis (negara yang tidak mengenal Tuhan). Namun demikian, ternyata Cina tidak sampai meruntuhkan dan menghancurkan rumah-rumah ibadah, termasuk masjid milik kaum muslimin yang tersebar di seluruh negeri Cina, walaupun muslimin cina disana menduduki jumlah populasi yang minoritas, dan sangat kecil jumlahnya.
Jejak Islam dan bangunan masjid telah ada di Cina sejak tahun-tahun awal Islam berdiri, yakni di zaman Sahabat NabiShallallahu ‘Alaihi Wasallam. Khalifah Utsman bin Affan pernah mengutuskan Saad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu sebagai Ketua Delegasi Islam, dan bertemu dengan pemerintah Dinasti Tang yang memerintah Cina tahun 618 – 907 M. Raja Cina yang menyambut delegasi Islam itu adalah Kao Tsung. Kaisar inilah yang mengizinkan orang-orang Islam tinggal di Cina dan membangun masjid-masjid untuk sarana peribadatan komunitas Islam waktu itu.
Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu kemudian menetap di Guangzhou (orang Inggris menyebutnya Kanton, dan orang Islam menyebutnya Khanfu), kemudian beliau membangun sebuah masjid yang indah disebut Masjid Huaiseng. Masjid itu sampai sekarang ini sudah berusia 14 abad, dan sampai sekarang masih berdiri kokoh di sana.
Ada masjid tua lagi di Cina yaitu Da Qingzhen Si yang merupakan Masjid Agung di Chang’an sekarang disebut Xi’an, provinsi Shaanxi yang didirikan pada tahun 742 M di atas tanah seluas 12 ribu meter persegi.
Selain itu ada Masjid Sheng You Si dalam bahasa Arab disebut Masjid Shahabah dibangun pada zaman Dinasti Song tahun 1009 M. Dan satu lagi adalah Masjid yang dibangun oleh Dinasti Tang yang disebut Masjid Zhen Jiao Si atau Masjid Agama yang Benar di Provinsi Zhejiang. Masjid ini sempat terkena dampak pembangunan jalan raya pada tahun 1929 M, namun tidak diruntuhkan oleh Pemerintah Cina, dan tetap terjaga dan berdiri kokoh sampai sekarang.
Di negeri Cina yang komunis saja, kaum muslimin dengan masjid-masjid mereka dilindungi dan dijaga selama ribuan tahun, bahkan di saat masih di dalam ‘cengkeraman’ pemerintahanan komunis atheis yang terkenal ‘bertangan besi’ sekalipun, keberadaan masjid, tanah, sebagai tempat peribadatan kaum muslimin berjalan baik dan tidak terganggu.
Bagaimana dengan nasib masjid di Indonesia?
Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sudah sewajibnya keberadaan rumah ibadah terutama masjid milik kaum muslimin, yang memiliki populasi hampir 90% dari jumlah penduduk yang ada, akan terjaga dan dijamin keberadaannya. Sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara pada pasal 29 UUD 1945 Negara menjamin tiap-tiap warga Negara untuk memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing. Namun demikian, kenyataannya, sebagai sebuah negara besar dengan populasi sekitar 230 juta jiwa, Indonesia tidak luput dari percikan-percikan masalah sosial. Khusus yang menyangkut masalah masjid kaum Muslimin, percikan-percikan itu tetap terjadi.
Di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara, pernah terjadi penghancuran masjid yang dipimpin langsung oleh Walikota Medan yang menjabat pada awal tahun 90-an yang lalu. Masjid tersebut adalah Masjid al Jihad yang terletak tepat di persimpangan Jalan Yos Sudarso dengan Jalan Pulo Brayan, Medan. Alasan Pemda membongkar masjid tersebut, karena hendak membangun sebuah jalan layang yang memotong Jalan Yos Sudarso tersebut. Seketika saja alat-alat berat datang, dan meruntuhkan Masjid al Jihad rata dengan tanah, diiringi dengan teriakan histeris serta deraian air mata kaum muslimin di sekitarnya. Kami masih ingat betul tokoh masyarakat yang memimpin gerakan melawan peruntuhan masjid, di antaranya adalah Almarhum Al Ustad al Hafidz H. Mahyuddin, tetangga kami di Jalan Durung, Medan. Kala itu, di hadapan ratusan warga muslim, dengan enteng, Walikota Medan berkata: “ Silahkan pindah ke masjid baru yang sudah kami bangun di sana itu!”, sambil menunjuk sebuah bangunan masjid yang berada di pinggiran rel kereta api, dan di belakang ruko-ruko keturunan Cina Pulo Brayan.
Perlawanan H. Mahyuddin dan kawan-kawan tidak berhenti. Pelaksanaan sholat 5 waktu dan sholat Jum’at tetap dilaksanakan di puing-puing Masjid al Jihad. Masih segar dalam ingatan kami sampai saat ini, kenangan di mana kami berkali-kali memimpin sholat Jum’at sebagai imam dan khatib di reruntuhan Masjid al Jihad itu. Keadaannya saat itu persis bangunan korban bom Perang Dunia II……., porak-poranda…..!
Kami sendiri adalah salah satu khotib dan imam yang rutin mengisi pengajian serta khutbah Jum’at setiap bulannya di masjid tersebut. Penolakan pindah ke masjid baru yang dibangun Walikota Medan terus berlangsung, sementara pembangunanMasjid Al Jihad yang baru di tanah yang masih tersisa dari bekas masjid yang dirobohkan itu segera pula dimulai kembali. Alhamdulillah, berkat kegigihan semangat jihad kaum muslimin Pulo Brayan, dan kekokohan iman mereka, sekarang ini telah berdiri Masjid al Jihad bertingkat tiga di lahan yang tersisa itu, tepatnya di sisi jalan layang yang kini telah berdiri megah membelah jalan Yos Sudarso Medan. Baru-baru ini saat kami pulang ke Medan kami sempat memandang keagungan masjid itu dalam uraian air mata. Kami berdoa semoga almarhum Ustadz Mahyuddin dan seluruh pengurus Masjid al Jihad yang sebagian besar sudah ‘kembali’ kepada Allah mendapatkan pahala syahid di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas perjuangan mereka dulu. Amin…..!
Penghancuran Masjid At Thayyibah di Medan.
Ternyata kejadian peruntuhan Masjid Al Jihad bukan merupakan yang terakhir terjadi di Medan. Kali ini kejadian serupa telah pula menimpa Masjid At Thayyibah di jalan Multatuli, Medan. Penyebabnya bukan karena adanya pembangunan jalan layang sebagai sarana kepentingan umum, tetapi hanya karena kepentingan usaha dari seorang pengusaha keturunan Cina yang ingin membangun perumahan mewah di lahan sekitar Masjid At Thayyibah tersebut.
Masjid baru sebagai pengganti memang telah dibangunnya, tetapi masalahnya tidak sesederhana itu. Sebagai rumah Allah dan harta wakaf kaum muslimin, masjid tidaklah dapat digusur, dihancurkan atau dipindah tangankan seenaknya. Apalagi hanya untuk memuaskan kepentingan ‘segelintir’ oknum di negeri ini. Apakah jika perumahan mewah telah dibangun di sana, lantas masjid menjadi haram hukumnya berdiri berdampingan dengan rumah-rumah mewah?
Wajar bila dalam benak kaum muslimin kemudian muncul prasangka bahwa pengusaha rumah elit tersebut adalah seorang yang anti agama dan tidak mau berdampingan dengan orang yang beragama. Pemikiran ini muncul karena pengusaha tersebut seolah-olah mengharamkan keberadaan masjid di dalam komplek mewahnya. Padahal andaikata pun seluruh pemilik rumah-rumah mewah itu tidak beragama Islam, sehingga tidak perlu melaksanakan sholat lima waktu, paling tidak, para satpam, pembantu rumah tangga, para supir, dan petugas kebersihan, mestinya adalah orang-orang Islam juga, yang hukumnya wajib melaksanakan sholat sebagai kewajiban agama mereka. Dan ini semua dijamin oleh UUD 1945. Lantas kemana mereka semua mau sholat, jika masjidnya diruntuhkan…..?
Kenyataan peristiwa peruntuhan Masjid at Thayyibah tersebut mengandung indikasi adanya kolusi dengan oknum-oknum pejabat di Medan, semakin kelihatan transparan. Terbukti, peristiwa perubuhan dan penghancuran masjid tersebut dilakukan oleh pengusaha rumah mewah itu dengan menghadirkan ratusan anggota Brimob Polda Sumatera Utara. Mereka para penegak hukum ini, alih-alih mencegah perlakuan sang pengusaha dan anak buahnya yang sedang menghancurkan Masjid at Thayyibah, malah sebaliknya mereka justru menghalangi masyarakat muslim yang hendak mencegah penghancuran masjid, sekaligus melindungi orang-orang suruhan sang pengusaha dengan alat beratnya, yang aktif merobohkan Masjid at Thayyibah tersebut. Sementara upaya hukum dan gugatan terhadap sang pengusaha oleh para jamaah masjid, kaum muslimin dan Forum Umat Islam Sumatera Utara masih berlangsung di pengadilan, dan belum diputuskan status hukumnya.
Semestinya oknum polisi sebagai pengayom masyarakat sekaligus penegak hukum menghormati proses hukum dan membiarkan keadaan Masjid at Thayyibah seperti apa adanya, sampai keputusan hukum tetap diturunkan oleh pihak pengadilan, dalam hal ini Mahkamah Agung RI.
Nampaknya, umat Islam jalan Multatuli dan sekitarnya, dan seluruh kaum muslimin se-kota Medan masih harus terus berjuang keras untuk membela keberadaan Masjid At Thayyibah tersebut. Dan, kami yakin hal itu akan berhasil mengingat kejadian yang lebih sulit pada peristiwa penghancuran Masjid Al Jihad, Pulo Brayan pada awal tahun 90-an yang lalu telah berhasil diperjuangkan.
Namun demikian, jika usaha ini gagal, kaum muslimin pun akan mencatat dalam sejarah kehidupan beragama di kota Medan, bahwa ada seorang pengusaha keturunan Cina bernama Benny Basry, telah menghancurkan sebuah masjid kaum muslimin di negara yang berpenduduk mayoritas Islam ini. Sejarah juga akan mencatat di masa Kapolda siapa peristiwa ini terjadi, siapa pejabat Walikotanya, Gubernurnya, bahkan kalau perlu Presidennya.
Hidup mulia atau matilah sebagai syuhada’…..! Allahu Akbar Walillahilhamd….!
Jakarta, 4 Februari 2010
https://sites.google.com/site/fuisumut/team-announcements
|
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan Mesej