Wajibnya mengembalikan segala perselisihan kepada al Qur-aan dan as Sunnah
Jum`at 8 Rabii`ul Awwal 1432
Allah Ta’ala berfirman:
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya.
[An-Nisa’ : 59]
Al-Imam as-Suyuthi berkata:
“Kemudian Al-Baihaqi mengeluarkan suatu riwayat dengan sanadnya dari Maimun bin Marhan tentang firman Allah (diatas). Maksud فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ “mengembalikan kepada Allah” dalam ayat ini adalah mengembalikan kepada kitab-Nya yaitu Al-Qur’an, sedangkan mengembalikan kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau telah wafat “adalah kembali kepada Sunnah beliau”
[Miftahul Jannah fii-Ihtijaj bi As-Sunnah (edisi Indonesia); hal. 36-46; dinukil dari almanhaj.or.id]
Kata شَىْءٍ (sesuatu) di ayat ini bentuk nakirah dalam konteks syarth (syarat), sehingga meliputi seluruh perselisihan kontradiktif baik dalam ushul (urusan pokok) ataupun furu’ (urusan cabang). Tafsir ini sebagaimana diungkapkan oleh Al-‘Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy.
[Adhwa’ul Bayan (1/ 333); dinukil dari almanhaj.or.id]
Hafizh Ibnu Katsir berkata,
“Ini adalah perintah dari Allah Azza wa Jalla, bahwa segala perkara yang diperselisihkan oleh manusia, yang berkaitan dengan ushul dan furu’ agama wajib dikembalikan kepada al-Qur`an dan sunnah.
Sebagaimana firman Allah,
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih maka putusannya terserah kepada Allah.”
(Asy-Syura: 10).
Maka apa yang ditetapkan oleh kitabullah dan sunnah rasulNya dan diakui keabsahannya oleh keduanya maka itulah kebenaran dan tidak ada sesudah kebenaran melainkan kesesatan.
Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman,
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ
“Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
Yakni kembalikan perselisihan dan ketidaktahuan kepada kitab Allah dan sunnah rasulNya, berhakimlah kepada keduanya dalam perkara yang kalian perselisihkan,
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ
“Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.’
Ini menunjukkan bahwa siapa yang tidak berhakim dalam persoalan yang diperselisihkan kepada al-Qur`an dan sunnah dan tidak merujuk kepada keduanya dalam hal itu maka dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.
(Tafsir Ibnu Katsir An-Nisa’ : 59)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk taat kepadaNya dan taat kepada RasulNya. Allah mengulangi kata kerja (yakni: ta’atilah!) sebagai pemberitahuan bahwa mentaati RasulNya wajib secara mutlak, dengan tanpa meninjau (mengukur) apa yang beliau perintahkan dengan Al Qur’an. Bahkan jika Beliau memerintahkan, maka wajib ditaati secara mutlak, baik yang beliau perintahkan itu terdapat dalam Al Qur’an ataupun tidak. Karena sesungguhnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi Al Qur’an dan yang semisalnya”.
[I’lamul Muwaqqi’in (1 atau 2/46), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002 H; dinukil dari almanhaj.or.id]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata:
“Kemudian Allah memerintahkan orang-orang beriman agar mengembalikan permasalahan yang mereka perselisihkan kepada Allah dan RasulNya, jika mereka benar-benar orang-orang yang beriman. Dan Allah memberitahu mereka, bahwa hal itu lebih utama bagi mereka di dunia ini, dan lebih baik akibatnya di akhirnya. Ini mengandung beberapa perkara.
Pertama : Orang-orang yang beriman terkadang berselisih pada sebagian hukum-hukum.
Perselisihan pada sebagian hukum tidak mengakibatkan mereka keluar dari keimanan (tidak kufur), jika mereka mengembalikan masalah yang mereka perselisihkan kepada Allah dan RasulNya, sebagaimana yang Allah syaratkan. Dan tidak disanksikan lagi, bahwa satu ketetapan hukum yang diterikat dengan satu syarat, maka ketetapan itu akan hilang jika syaratnya tidak ada.
Kedua : Firman Allah “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu”,
(maksudnya) mencakup seluruh masalah yang diperselisihkan oleh orang-orang yang beriman, berupa masalah agama, baik kecil atau yang besar, yang terang dan yang samar.
Ketiga : Manusia telah sepakat bahwa mengembalikan kepada Allah
maksudnya mengembalikan kepada kitabNya. (Dan) mengembalikan kepada RasulNya adalah mengembalikan kepada diri Beliau di saat hidupnya dan kepada Sunnahnya setelah wafatnya.
Keempat : Allah menjadikan “mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada kepada Allah dan RasulNya” termasuk tuntutan dan konsekwensi iman. Sehingga jika itu tidak ada, imanpun hilang.
[Diringkas dari I’lamul Muwaqqi’in (2/47-48), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002 H; almanhaj.or.id]
Allah berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Råbbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
(An-Nisaa: 65)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan diriNya yang mulia, yang suci, bahwa seseorang tidak beriman sehingga menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim di dalam segala perkara. Apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam putuskan adalah haq, wajib dipatuhi secara lahir dan batin.
Oleh karena itu Allah berfirman
ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
‘kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya’.
Yaitu jika mereka telah menjadikanmu sebagai hakim, mereka mentaatimu di dalam batin mereka, kemudian tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka tunduk kepadanya lahir batin, dan menerimanya dengan sepenuhnya, tanpa menolak dan membantah”.
[Tafsir Ibnu Katsir, surat An Nisa’: 65; dinukil dari almanhaj.or.id]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا كِتَابُ اللهِ وَسُنَّتِيْ
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian tidak akan sesat di belakang keduanya, (yaitu) kitabullah dan Sunnahku.”
(HR. Malik dan Al-Hakim dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Misykah )
Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda,
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sungguh barangsiapa yang hidup di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak. (Maka) berpeganglah dengan sunahku dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham. Hindarilah kalian hal-hal yang baru, sesungguhnya setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah ada sesat.”
(HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimy (I/44), al-Baghawy dalam kitabnya Syarhus Sunnah (I/205), al-Hakim (I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi, dan Syaikh al-Albany menshahihkan juga hadits ini)
Ibnu Rajab berkata:
Dalam hadits tersebut juga terdapat perintah ketika terjadi perselisihan agar berpegang teguh pada sunnah beliau dan sunnah al-khulafaur-rasyidin sepeninggal beliau.
As-Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya berpegang teguh kepada keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para al-khulafaur-rasyidin. Itulah sunnah yang paripurna.
Oleh karena itu, generasi salaf dulu tidak menamakan sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Al-Hasan, Al-Auza’i, dan Al-Fudlail bin ‘Iyadl
[Jami’ul-Ulum wal-Hikam, hal. 341-342; Daarul-Hadits; 1424; dinukil dari abuljauzaa]
Ibnul-Qayyim berkata :
“(Dalam hadits ini) beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menggabungkan sunnah (jalan, ajaran) para khalifah beliau dengan sunnahnya.
(Demikian halnya) beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunnah para khalifah, sebagaimana beliau memerintahkan untuk mengikuti sunnahnya.
Dalam memerintahkan hal itu, beliau bersungguh-sunguh, sampai-sampai memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini berkaitan dengan yang para khalifah fatwakan dan mereka sunnahkan (tetapkan) bagi umat, walaupun tidak datang keterangan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun hal itu dianggap sebagai sunnah beliau…”
[I’lamul-Muwaqqi’in 2/388; Darul-Hadits; 1422; dinukil dari:abuljauzaa]
Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman menjelaskan (dalam ceramah beliau di Unibraw Malang tanggal 7 Desember 2004) bahwa sunnah al-khulafaur-rasyidin dan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam; adalah SUNNAH YANG SATU.
Karena itulah ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
[فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي]
(Maka) berpeganglah dengan sunahku dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk
lalu setelah itu beliau berkata :
[عضوا عليها بالنواجذ]
Gigitlah ia dengan gigi geraham
dengan lafadh yang satu (tunggal/mufrad).
Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak berkata :
[عضوا عليهما بالنواجذ]
Gigitlah keduanya dengan gigi geraham
Pada hakikatnya, semua ini merupakan agama Allah. Karena, sebagaimana Allah memilih Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya dari kalangan manusia, maka Allah juga memilih untuk nabi-Nya shahabat-shahabat yang pilihan.
Abdullah bin Mas’ud pernah menegaskan tentang hal ini:
“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pilih Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya, (dan) Allah memberikan kepadanya risalah.
Kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya setelah Nabi-Nya, maka didapati bahwa hati para shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya. Maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang mereka berperang atas agama-Nya.
Apa yang dipandang kaum muslimin (yaitu para shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah. Dan apa yang mereka (para shahabat Rasul) pandang jelek, maka di sisi Allah itu jelek”
[HR. Ahmad no. 3600 dan dinyatakan shahih oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir. Lihat Majma’uz-Zawaid no. 832 dimana Al-Haitsami berkata : Rijalnya adalah tsiqat; dinukil dari abuljauzaa].
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
[Al Hujurat : 1].
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :
“Yaitu janganlah engkau berkata (–dalam masalah agama–) sebelum dia ( Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata.
Janganlah engkau memerintah sebelum dia (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) memerintah.
Janganlah engkau berfatwa sebelum dia ( Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) berfatwa.
Janganlah engkau memutuskan perkara sebelum dia ( Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang memutuskan perkara padanya dan melangsungkan keputusannya”.
[I’lamul Muwaqqi’in (2/49), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002 H; dinukil dari almanhaj.or.id]
Setelah mengetahui dalil-dalil yang dipaparkan diatas, maka hendaknya kita benar-benar TUNDUK dan PATUH pada SELURUH KETETAPAN yang telah ditetapkan Allah dan RasulNya, yang kita tidak punya pilihan lain, selain untuk TUNDUK, PATUH dan TAAT pada ketetapan tersebut.
Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
[Al Ahzab : 36].
Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Råhimahullåh berkata:
أجمع المسلمون على أن من استبان له سنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يحل له أن يدعها لقول أحد
“Kaum muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa yang telah mendapatkan kejelasan baginya tentang Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena pendapat seseorang”
[Al-Fulani halaman 68]
al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr menafsirkan ayat diatas:
“Ayat ini bersifat umum dalam seluruh perkara. Yaitu sesungguhnya Allåh dan RåsulNya menetapkan sesuatu, MAKA TIDAK BOLEH bagi seseorang melanggarnya SERTA TIDAK BOLEH bagi seseorang memiliki pilihan lain, baik pemikiran maupun pendapat (– yang bersebrangan dengan apa yang telah ditetapkan Allah dan RasulNya –)!”
(Tafsir Ibnu Katsir)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Ayat ini umum dalam segala perkara. Yaitu, jika Allah dan RasulNya telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi siapapun menyelisihinya, dan tidak ada pilihan (yang lain) bagi siapapun, tidak juga ada pendapat dan perkataan”.
[Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Ahzaab : 36; dinukil dari almanhaj.or.id].
Ibnul Qayyim –rahimahullah- mengatakan,
“Ayat ini menunjukkan bahwa jika telah ada ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya dalam setiap masalah baik dalam permasalahan hukum atau pun berita (seperti permasalahan aqidah), maka seseorang tidak boleh memberikan pilihan selain pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya tadi lalu dia berpendapat dengannya. Sikap berpaling kepada ketetapan selain Allah dan Rasul-Nya sama sekali bukanlah sikap seorang mukmin. Dari sini menunjukkan bahwa sikap semacam ini termasuk menafikan (meniadakan) keimanan.”
(Zadul Muhajir-Ar Risalah At Tabukiyah, hal. 25 ; dinukil darirumaysho)
Maka hendaknya kita, dalam menyikapi segala perselishan mengembalikan perkara kepada Kitabullah dan as-Sunnah (yang shahiih) MENURUT PEMAHAMAN para shahabat ridwanullah ‘alayhim jamii’an; dengan mengesampingkan hawa nafsu kita dan seluruh pendapat yang menyelisihi apa yang telah ditetapkan Allah dan RasulNya.
Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang diancam Allah dengan firmanNya:
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam; dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
(An Nisa’: 115)
Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata:
“Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin disini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih.
Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna.
Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran.
Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.’”
(Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.”
(Majmu’ Fatawa, 7/38).
Ibnu Katsir berkata:
“…Jika ia tetap menempuh jalan ini [– yakni jalan selain jalan kaum mukminin (para shahabat dan orang yang mengikuti mereka dengan baik) –], [– setelah JELAS dan NYATA kebenaran baginya… –], niscaya Kami akan balas ia dengan cara menganggap baik (hal tersebut) dalam dadanya, dan menghiasinya dengan istidraj.
Sebagaimana FirmanNya:
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka
(ash Shaff: 5)
Dan juga firmanNya:
وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.
(Al-An’aam: 110)
(Dan) Dia menjadikan api neraka sebagai tempat kembalinya di Akhirat. Karena barangsiapa yang keluar dari hidayah, tidak ada jalan lain baginya, kecuali jalan menuju Neraka pada hari kiamat kelak, sebagaimana firmanNya:
احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا وَأَزْوَاجَهُمْ
(kepada malaikat diperintahkan:) “Kumpulkanlah orang-orang yang zalim beserta teman sejawat mereka…
(Ash-Shaaffaat: 22)
[Tafsir Ibnu Katsir an Nisaa': 115]
Wallahul Musta’aan. Semoga bermanfa’at
http://abuzuhriy.com/wajibnya-mengembalikan-segala-perselisihan-kepada-al-qur-aan-dan-as-sunnah/
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan Mesej