Kewajiban Mencintai Orang Beriman dan Membenci Orang Kafir
Manakala perseteruan antara para wali Allah l dari kalangan orang beriman selaku pengusung kebenaran (ahlul haq) dengan para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya selaku pengusung kebatilan (ahlul batil) tidak pernah berhenti hingga akhir zaman nanti, maka di antara norma luhur dan keadilan yang ditanamkan oleh Islam kepada umatnya—sebagai konsekuensi keimanan—adalah kewajiban mencintai para wali Allah l dari kalangan orang beriman dan bersikap loyal (setia) kepada mereka. Sebagaimana pula Islam menanamkan kebencian dan sikap permusuhan kepada para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam kitabnya, al-Wala’ wal Bara’ fil Islam, berkata, “Sesungguhnya setelah mencintai Allah l dan Rasul-Nya n, wajib mencintai para wali Allah l dan memusuhi musuh-musuh-Nya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah para wali Allah l, sebagian mereka adalah pembela bagi sebagian yang lain. Adapun orang-orang kafir adalah musuh Allah l dan musuh orang-orang beriman. Allah l mewajibkan sikap loyal (setia) terhadap sesama orang-orang beriman dan menjadikannya sebagai konsekuensi keimanan, sebagaimana pula Dia l melarang orang-orang beriman dari sikap loyal (setia) kepada orang-orang kafir.” (Majmu’ Fatawa 28/190)
Di antara dalil wajibnya mencintai para wali Allah l dari kalangan orang beriman dan bersikap loyal (setia) kepada mereka adalah firman Allah l:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Maka dari itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudara kalian itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kalian mendapat rahmat.” (al-Hujurat: 10)
“Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (al-Maidah: 55—56)
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (al-Hasyr: 10)3
Di antara dalil wajibnya membenci para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya adalah firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang.” (al-Mumtahanah: 1)
“Sesungguhnya telah ada teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadahi selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian, dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian selama-lamanya, sampai kalian mau beriman kepada Allah semata’.” (al-Mumtahanah: 4)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin(mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 51)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai para pemimpin, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan barang siapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (at-Taubah: 23)
“Kalian tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka.” (al-Mujadilah: 22)4
Manakala perseteruan antara para wali Allah l dari kalangan orang beriman selaku pengusung kebenaran (ahlul haq) dengan para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya selaku pengusung kebatilan (ahlul batil) tidak pernah berhenti hingga akhir zaman nanti, maka di antara norma luhur dan keadilan yang ditanamkan oleh Islam kepada umatnya—sebagai konsekuensi keimanan—adalah kewajiban mencintai para wali Allah l dari kalangan orang beriman dan bersikap loyal (setia) kepada mereka. Sebagaimana pula Islam menanamkan kebencian dan sikap permusuhan kepada para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam kitabnya, al-Wala’ wal Bara’ fil Islam, berkata, “Sesungguhnya setelah mencintai Allah l dan Rasul-Nya n, wajib mencintai para wali Allah l dan memusuhi musuh-musuh-Nya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah para wali Allah l, sebagian mereka adalah pembela bagi sebagian yang lain. Adapun orang-orang kafir adalah musuh Allah l dan musuh orang-orang beriman. Allah l mewajibkan sikap loyal (setia) terhadap sesama orang-orang beriman dan menjadikannya sebagai konsekuensi keimanan, sebagaimana pula Dia l melarang orang-orang beriman dari sikap loyal (setia) kepada orang-orang kafir.” (Majmu’ Fatawa 28/190)
Di antara dalil wajibnya mencintai para wali Allah l dari kalangan orang beriman dan bersikap loyal (setia) kepada mereka adalah firman Allah l:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Maka dari itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudara kalian itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kalian mendapat rahmat.” (al-Hujurat: 10)
“Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (al-Maidah: 55—56)
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (al-Hasyr: 10)3
Di antara dalil wajibnya membenci para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya adalah firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang.” (al-Mumtahanah: 1)
“Sesungguhnya telah ada teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadahi selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian, dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian selama-lamanya, sampai kalian mau beriman kepada Allah semata’.” (al-Mumtahanah: 4)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin(mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 51)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai para pemimpin, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan barang siapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (at-Taubah: 23)
“Kalian tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka.” (al-Mujadilah: 22)4
Fenomena Berinteraksi dengan Orang Kafir
Para Pembaca yang mulia, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa membenci orang kafir dan memusuhinya karena Allah l ialah tali keimanan terkokoh dalam Islam. Adapun mencintai orang kafir dan bersikap loyal (setia) kepadanya adalah perbuatan yang diharamkan dalam syariat Islam. Namun, realitas menunjukkan bahwa berinteraksi dengan orang kafir merupakan sebuah fenomena dalam kehidupan ini. Baik dengan orang kafir yang tinggal di negeri muslim dengan segala hak dan kewajibannya (dzimmi), orang kafir yang terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin (mu’ahad), orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan untuk tinggal di negeri muslim (musta’man), maupun orang kafir yang sedang bermusuhan dengan kaum muslimin (harbi). Bagaimanakah bimbingan Islam mengompromikan masalah ini? Untuk mengetahuinya, ikuti dengan saksama bahasan berikut.
Para Pembaca yang mulia, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa membenci orang kafir dan memusuhinya karena Allah l ialah tali keimanan terkokoh dalam Islam. Adapun mencintai orang kafir dan bersikap loyal (setia) kepadanya adalah perbuatan yang diharamkan dalam syariat Islam. Namun, realitas menunjukkan bahwa berinteraksi dengan orang kafir merupakan sebuah fenomena dalam kehidupan ini. Baik dengan orang kafir yang tinggal di negeri muslim dengan segala hak dan kewajibannya (dzimmi), orang kafir yang terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin (mu’ahad), orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan untuk tinggal di negeri muslim (musta’man), maupun orang kafir yang sedang bermusuhan dengan kaum muslimin (harbi). Bagaimanakah bimbingan Islam mengompromikan masalah ini? Untuk mengetahuinya, ikuti dengan saksama bahasan berikut.
a. Hukum berinteraksi (muamalah) dengan orang kafir
Para Pembaca yang mulia, Islam dengan segala kesempurnaan dan keadilannya senantiasa membimbing umatnya agar bersikap adil dan menjauhkan diri dari perbuatan zalim, termasuk dalam masalah menyikapi orang kafir.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t menjelaskan bahwa setiap muslim wajib berlepas diri dari orang-orang musyrik (kafir) dan menampakkan kebencian kepada mereka karena Allah l. Namun, ia tidak boleh menyakiti, mencelakai, dan berbuat semena-mena terhadap mereka dengan cara yang tidak benar, khususnya dari jenis yang tidak memerangi kita (bukan harbi). Meski demikian, tetap tidak boleh menjadikan mereka sebagai kawan dekat ataupun sebagai saudara. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 6/420)
Adapun berinteraksi (muamalah) dengan orang kafir merupakan permasalahan tersendiri dalam Islam yang tidak ada kaitannya dengan kecintaan dan sikap loyal (setia) kepada mereka. Secara hukum asal, berinteraksi (muamalah) dengan orang kafir karena suatu kebutuhan (dengan batasan-batasannya) diperbolehkan dalam Islam. Lebih dari itu, tidak ada dasar pengharamannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menjelaskan bahwa secara hukum asal tidak diharamkan bagi semua manusia untuk melakukan interaksi (muamalah) yang dibutuhkannya, melainkan jika ada dasar pengharamannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. (Lihat as-Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 155)
Maka dari itu, Allah l tidak melarang kaum muslimin untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang kafir yang tidak menyakiti dan memerangi mereka. Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya l:
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahanah: 8)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam kitabnya al-Wala’ wal Bara’ fil Islam berkata, “Maksud dari ayat ini adalah bahwa orang kafir yang tidak menyakiti kaum muslimin, tidak memerangi mereka, dan tidak pula mengusir mereka dari negeri-negeri mereka, tidak mengapa bagi kaum muslimin membalas kebaikan tersebut dan berlaku adil dalam urusan duniawi, namun tidak mencintainya dalam hati. Karena yang disebutkan Allah l dalam firman-Nya l adalah, ‘Untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka’ bukan ‘Bersikap loyal (setia) dan mencintai mereka’. —hingga ucapan beliau—Maka dari itu, berinteraksi dan membalas kebaikan duniawi berbeda dengan kecintaan karena berinteraksi dan berbuat baik dapat menyebabkan ketertarikan kepada Islam, dan ini adalah bagian dari dakwah. Berbeda dengan kecintaan dan sikap loyal (setia), keduanya sarat akan persetujuan dan keridhaan terhadap orang kafir tersebut, dan ini tidak membuatnya tertarik dengan Islam.” (al-Wala’ wal Bara’ fil Islam)
Seiring dengan itu, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengingatkan agar kita semua berhati-hati ketika berinteraksi (bermuamalah) dengan orang-orang kafir tersebut. (Lihat al-Muntaqa 2/45, fatwa no. 6901)
Para Pembaca yang mulia, Islam dengan segala kesempurnaan dan keadilannya senantiasa membimbing umatnya agar bersikap adil dan menjauhkan diri dari perbuatan zalim, termasuk dalam masalah menyikapi orang kafir.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t menjelaskan bahwa setiap muslim wajib berlepas diri dari orang-orang musyrik (kafir) dan menampakkan kebencian kepada mereka karena Allah l. Namun, ia tidak boleh menyakiti, mencelakai, dan berbuat semena-mena terhadap mereka dengan cara yang tidak benar, khususnya dari jenis yang tidak memerangi kita (bukan harbi). Meski demikian, tetap tidak boleh menjadikan mereka sebagai kawan dekat ataupun sebagai saudara. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 6/420)
Adapun berinteraksi (muamalah) dengan orang kafir merupakan permasalahan tersendiri dalam Islam yang tidak ada kaitannya dengan kecintaan dan sikap loyal (setia) kepada mereka. Secara hukum asal, berinteraksi (muamalah) dengan orang kafir karena suatu kebutuhan (dengan batasan-batasannya) diperbolehkan dalam Islam. Lebih dari itu, tidak ada dasar pengharamannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menjelaskan bahwa secara hukum asal tidak diharamkan bagi semua manusia untuk melakukan interaksi (muamalah) yang dibutuhkannya, melainkan jika ada dasar pengharamannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. (Lihat as-Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 155)
Maka dari itu, Allah l tidak melarang kaum muslimin untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang kafir yang tidak menyakiti dan memerangi mereka. Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya l:
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahanah: 8)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam kitabnya al-Wala’ wal Bara’ fil Islam berkata, “Maksud dari ayat ini adalah bahwa orang kafir yang tidak menyakiti kaum muslimin, tidak memerangi mereka, dan tidak pula mengusir mereka dari negeri-negeri mereka, tidak mengapa bagi kaum muslimin membalas kebaikan tersebut dan berlaku adil dalam urusan duniawi, namun tidak mencintainya dalam hati. Karena yang disebutkan Allah l dalam firman-Nya l adalah, ‘Untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka’ bukan ‘Bersikap loyal (setia) dan mencintai mereka’. —hingga ucapan beliau—Maka dari itu, berinteraksi dan membalas kebaikan duniawi berbeda dengan kecintaan karena berinteraksi dan berbuat baik dapat menyebabkan ketertarikan kepada Islam, dan ini adalah bagian dari dakwah. Berbeda dengan kecintaan dan sikap loyal (setia), keduanya sarat akan persetujuan dan keridhaan terhadap orang kafir tersebut, dan ini tidak membuatnya tertarik dengan Islam.” (al-Wala’ wal Bara’ fil Islam)
Seiring dengan itu, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengingatkan agar kita semua berhati-hati ketika berinteraksi (bermuamalah) dengan orang-orang kafir tersebut. (Lihat al-Muntaqa 2/45, fatwa no. 6901)
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan Mesej