Whatsap Saya

Jawatan Kosong Kerajaan & Swasta Terkini 2020

koleksi kitab

Wednesday, September 9, 2015

Ikutilah kelompok majoriti di atas jalan yang lurus

Ikutilah kelompok majoriti di atas jalan yang lurus
Dalam tulisan kami sebelumnya
pada
https://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/29/maksud-yang-berbeda/   

memuat Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan pedoman bagi kita agar mengikuti as-sawaad al-a’zhom (jama’ah kaum muslimin yang terbanyak), karena kesepakatan mereka (as-sawaad al-a’zhom) mendekati ijma’, sehingga kemungkinan keliru sangatlah kecil.
Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (as-sawad al a’zham).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Begitupula ulama-ulama yang sholeh menjelaskan
al-Imam as-Suyuthi rahimahullaah menafsirkan kata As-sawadul A’zhom sebagai sekelompok (jamaah) manusia yang terbanyak, yang bersatu dalam satu titian manhaj yang lurus. (Lihat: Syarah Sunan Ibnu Majah: 1/283).
Menurut al-Hafidz al-Muhaddits Imam Suyuthi, As-Sawad Al-A’zhom merupakan mayoritas umat Islam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Atsqolani menukil perkataan Imam Ath-Thabari mengenai makna kata “jamaah” dalam hadits Bukhari yang berbunyi, “Hendaknya kalian bersama jamaah”, beliau berkata, “Jamaah adalah As-Sawad Al-A’zhom.” (Lihat Fathul Bari juz 13 hal. 37)
Ibnu Hajar al-Atsqolani pun memaknai “Jama’ah” sebagai As-Sawad Al-A’zhom (mayoritas umat Islam).
Namun mereka bersikukuh untuk mengikuti golongan minoritas yang mengaku  berpegang teguh pada Manhaj Salafus Sholeh bahkan mengaku pula mengikuti Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah
Bagaimana mungkin benar pengakuan mereka bahwa mereka mengikuti Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah sedangkan mereka dengan bersikukuh untuk mengikuti golongan minoritas, dengan sendirinya telah membantah Sunnah Rasulullah agar mengikuti  “kelompok mayoritas (as-sawad al a’zham)
Mereka secara tidak sadar telah berdusta bahwa mereka i’ttiba li Rasulihi karena kenyataannya mereka taqlid kepada ulama/ustadz mereka untuk mengikuti golongan minoritas  bahkan mengaku di atas manhaj Salafush Sholeh atau manhaj/mazhab Salaf
Sebagaimana yang kami sampaikan  dalam tulisan padahttps://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/27/antara-salaf-dan-salafi/Mazhab/manhaj Salaf walaupun namanya terkait Salaf (terdahulu) namun sebenarnya adalah perkara baru yang tidak pernah dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maupun para Salafush Sholeh. 
Apa yang dimaksud mereka sebagai manhaj Salafush Sholeh atau Manhaj/Mazhab Salaf adalah jalan/cara yang dipahami oleh segilintir ulama (kelompok minoritas) yang berupaya memahami lafazh / tulisan ulama Salaf yang Sholeh namun pemahaman segelintir ulama (kelompok minoritas) tersebut bisa benar dan bisa pula salah.
Ulama yang menggagas adanya mazhab/manhaj Salaf salah satunya adalah ulama Ibnu Taimiyah
Beliau berfatwa,
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf itu pasti benar” [Majmu Fatawa 4/149]
Jadi pada hakikat yang disebut kelompok minoritas yang berada di atas manhaj salaf, pada hakikatnya adalah para pengikut ulama Ibnu Taimiyah atau umumnya disebut kaum Salafi.
Kemudian tumbuh salah satu jalur pemahaman ulama Ibnu Taimiyah lewat pemahaman  ulama Muhammad bin Abdul Wahhab yang disebut kaum Salafi Wahhabi atau disingkat kaum Wahhabi
Perkembangan selengkapnya pemahaman ulama Ibnu Taimiyah dan jalur-jalurnya kami uraikan dalam tulisan padahttps://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/03/05/2011/06/21/pemahaman-ibnu-taimiyah/
Dengan mereka mengikuti kelompok minoritas atau mengikuti Salafi  atau pemahaman Salaf ala ulama Ibnu Taimiyah  dengan sendirinya membuktikan bahwa mereka bukan di atas manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah karena Ahlussunnah wal Jama’ah mengikuti/menjalani sunnah Rasulullah untuk mengikuti as-sawaad al-a’zhom (jama’ah kaum muslimin yang terbanyak),
Mereka berpendapat bahwa  kebanyakan kaum muslim bangga dengan jumlah yang banyak, dan menganggap yang banyak itu adalah benar
Kami tidak membanggakan diri dengan mengikuti  as-sawaad al-a’zhom (jama’ah kaum muslimin yang terbanyak) namun kami sekedar ittiba li Rasulihi , mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Mereka lagi-lagi membantah  bahwa yang banyak itu belum tentu benar dengan mempergunakan firman Allah Azza wa Jalla antara lain,
“Tetapi kebanyakan manusia tidak beriman”. ( QS Hud : 17
“Tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” ( QS. Yusuf : 21 )
“Tetapi kebanyakan manusia itu tidak mensyukuri (Nya)”. ( QS. Yusuf : 38, QS. Al Baqoroh : 243 )
“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” ( QS. Yusuf : 40 dan 68, QS. An Nahl : 38, 75 )
“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya” ( QS. Yusuf : 105 )
“Kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir”. ( QS. An Nahl : 83 )
“Tapi kebanyakan manusia tidak menyukai kecuali mengingkari (nya)”. ( QS. Al Israa’ : 89 )
“Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah”. ( QS. Al Kahfi : 54 )
Firman Allah Azza wa Jalla yang mereka sampaikan adalah banyak dari orang-orang  yang salah, yakni “manusia tidak beriman”, “manusia tiada mengetahui”, “manusia tidak mensyukuriNya”, “manusia yang berpaling”, “orang-orang kafir”, “manusia yang mengingkariNya”, “makhluk yang paling banyak membantah
Firman Allah Azza wa Jalla tersebut bukanlah yang dimaksud dengan   as-sawaad al-a’zhom (jama’ah kaum muslimin yang terbanyak) namun banyak dari orang-orang yang salah.
Imam Sayyidina Ali kw  mengungkapkan yang artinya,
kalimatu haqin urida bihil batil” (perkataan yang benar dengan tujuan yang batil/salah).
Dengan ungkapan tersebut Imam  Sayyidina Ali kw telah memperingatkan kita agar tidak seperti kaum khawarij  (asal kata kharij artinya kaum yang keluar / minoritas) dimana mereka kerap mempergunakan perkataan yang benar (firman Allah Azza wa Jalla  atau sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) untuk maksud tujuan yang batil.
Sekali lagi kami mengingatkan bahwa  as-sawaad al-a’zhom(jama’ah kaum muslimin yang terbanyak) adalah banyak dari orang-orang yang benar karena mengikuti  sunnah Rasulullah (ittiba li Rasulihi). Kaum yang berada di atas manhaj Salafush Sholeh.  Mereka yang istiqomah pada jalan Rasulullah yakni “jalan Allah yang lurus”, jalan orang-orang yang telah diberi ni’mat oleh Allah Azza wa Jalla.
Ibnu Mas’ud meriwayatkan:
“Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam membuat garis dengan tangannya lalu bersabda, ‘Ini jalan Allah yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang sesat tak satu pun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat setan yang menyeru kepadanya. Selanjutnya beliau mem-baca firman Allah, ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus maka ikutilah dia janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu menceraiberaikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (Al-An’am: 153) (Haditsshahih riwayat Ahmad dan Nasa’i)
Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS Al Fatihah [1]:6 )
” (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka….” (QS Al Fatihah [1]:7 )
Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Oleh karenanya marilah kita mengikuti as-sawaad al-a’zhom(jama’ah kaum muslimin yang terbanyak), tinggalkanlah kelompok minoritas walaupun mereka mengaku-aku  berada di atas manhaj Salafush Sholeh.
Marilah kita berkumpul dalam as-sawaad al-a’zhom (jama’ah kaum muslimin yang terbanyak) , berkumpul dengan orang-orang sholeh sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla yang artinya , “Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 ).
Orang-orang sholeh yang selalu didoakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia.
Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin,
Semoga keselamatan bagi kami dan hamba-hamba Allah yang sholeh”.
Para Sahabat menyampaikan bahwa “sesungguhnya jika kita mengucapkan “Assalaamu’alaina wa’alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin”, maka hal itu sudah mencakup seluruh hamba-hamba yang shalih baik di langit maupun di bumi“. Perkataan ini dilukiskan dalam hadits pada
http://www.indoquran.com/index.php?surano=60&ayatno=25&action=display&option=com_bukhari
Hamba-hamba shalih yang di langit adalah hamba-hamba shalih yang secara dzahir sudah wafat namun mereka hidup di sisi Allah Azza wa Jalla sebagaimana para Syuhada, sebagaimana yang difirmankan Allah Azza wa Jalla yang artinya.
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan(sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)
Mereka yang disisi Allah Azza wa Jalla yakni para Nabi, para Shiddiqin, para Syuhada dan orang-orang sholeh walaupun secara dzahir mereka telah wafat namun mereka hidup di sisi Allah Azza wa Jalla.   Manusia yang telah wafat pada hakikatnya hanya berpindah alam, berpindah ketempat penantian. Namun ada manusia yang menanti di tempat yang sempit atau mendapatkan siksa  di dalam penantian (siksa alam kubur).
Mereka yang disisi Allah Azza wa Jalla menanti di tempat yang sesuai ketetapan Allah Azza wa Jalla dan mereka selalu mendapatkan rezki atau ni’mat dari Allah wa Jalla
Lihatlah penantian para Nabi yang terlukis dalam,
Lalu perawi membawakan hadits tersebut dengan kisahnya, dia menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertemu dengan Nabi Isa dan Nabi Yahya di langit kedua, dan pada langit ketiga, beliau berjumpa dengan Nabi Yusuf. Lalu di langit keempat bertemu dengan Nabi Idris. Setelah sampai di langit kelima beliau bertemu dengan Nabi Harun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda: Kemudian kami meneruskan perjalanan sehingga sampai di langit keenam, lalu aku menemui Nabi Musa dan memberi salam kepadanya. Dia segera menjawab, ‘Selamat datang wahai saudara yang dan nabi yang shalih.’ Ketika aku meningalkannya, dia terus menangis. Lalu dia ditanya, ‘Apakah yang menyebabkan kamu menangis? ‘ dia menjawab, ‘Wahai Tuhanku! Kamu telah mengutus pemuda ini setelahku, tetapi umatnya lebih banyak memasuki Surga daripada umatku’. Beliau bersabda lagi, Kami meneruskan lagi perjalanan sehingga sampai di langit ketujuh, lalu aku mengunjungi Nabi Ibrahim. ” (HR Muslim)
Sumber: http://www.indoquran.com/index.php?surano=2&ayatno=230&action=display&option=com_muslim
Sayang sekali ada segelintir kaum muslim tidak meyakini bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaum muslim lainnya yang disisi Allah Azza wa Jalla tetap hidup walau mereka secara dzahir telah wafat.
Ketidakyakinan mereka terjadi karena mereka memahami Al Qur’an dan Hadits  cenderung secara harfiah atau secara dzahir.
Pemahaman secara harfiah atau pemahaman secara apa yang tertulis atau pemahaman yang “tidak melewati kerongkongan” atau pemahaman sebatas ra’yu (akal/otak/rasio/ilmiah) saja atau  pemahaman dengan metodologi “terjemahkan saja” sebagaimana yang telah kami sampaikan padahttps://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/02/02/terjemahkan-saja/
Pemahaman yang melewati kerongkongan adalah pemahaman secara hikmah atau  pemahaman yang dalam atau pemahaman dengan hati atau mengambil pelajaran sebagaimana Ulil Albab.
Ulil Albab dengan ciri utamanya adalah,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Ali Imran [3] : 191)
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 )
Wassalam
Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830

10 Tanggapan

  1. gak ada jaminan mengikuti yang mayoritas ketika dihadapkan dengan Qur’an masih berpandangan negatif.
    bagaimana anda mengambil pelajaran zon, kalau otak anda tidak difungsikan?
    • Andi ………SAMPEYAN MUSLIIIIIIM ?????
    • pada 1 Agustus 2011 pada 2:47 pm | Balasmutiarazuhud
      Mas Andi, kita harus mengikuti sunnah Rasulullah yakni untuk mengikuti kelompok mayoritas (as-sawad al a’zham). Kelompok mayoritas mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat yang sudah jelas bekompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak dan bersanad ilmu sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
      Kita sebaiknya jangan mengikuti pendapat ulama yang belum berkompetensi sebagai imam mujtahid mutlak dan tidak bersanad ilmu. Jika kita mengikuti ulama seperti itu berarti membentuk firqoh, sekte atau kelompok.
      Biarkanlah mereka membentuk sekte/kelompok dengan sendirinya mereka tidak mengikuti sunnah Rasulullah yakni untuk mengikuti kelompok mayoritas (as-sawad al a’zham). Jika mereka membantah sunnah Rasulullah maka klaim mereka sebagai Ahlussunnah wal Jamaah pun menjadi batal dan pengakuan mereka ittiba’ li Rasulillah baru sebatas di lidah. Apakah yang dimaksud bermanhaj salaf atau salafi telah kami uraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpr​ess.com/2011/07/27/antara-​salaf-dan-salafi/
    • pada 1 Agustus 2011 pada 2:53 pm | Balasmutiarazuhud
      Mas Andi masalah otak atau akal kita fungsikan mengikuti firman Allah Azza wa Jalla dan sunnah Rasulullah, inilah yang disebut mengambil pelajaran atau pemahaman secara hikmah
      Hal yang terlarang adalah otak atau akal kita mendahului firman Allah Azza wa Jalla dan Sunnah Rasulullah, inilah yang disebut upaya pembenaran. atau pemahaman dengan ra’yu.
  2. Otak kita ciptaan Tuhan… Tak sepantasnya kita mengedepankannya diatas firman Tuhan… Terlalu sombong jika kita mendahului firmannya.
  3. sebenernya banyak hukum islam yang tidak sepenuhnya di sampaikan kepada masyarak umum,banyak ajaran islam yang masih di filter di sesuaikan dengan kadar tauhid orang itu sendiri,jadi kadang kala orang beranggapan bahwa banyak hal yang merek anggap tabu dan keluar dari ajaran islam karena bertentangan dengan alqur’an dan hadist padahal bukan karena alasan itu tetapi karena mereka tidak mengetahui sepenuhnya ajaran islam sampai dengan pemahaman yang lebih dalam, biasanya orang seperti itu hanya tau dari orang dan orang tanpa mengkaji lebih dalam dari tukilan2 para ulama mengenai kajian pemahaman tersebut.
  4. pada 31 Oktober 2011 pada 8:22 pm | BalasGATOT AREMA
    mas admin yg dirahmati allah….
    saya selama ini sering mengikuti kajian salafi walu hnya via internet..
    jujur saya mengagumi salafi dari kemampuan berhujjah nya…
    tapi membaca tulisan saudara, sepertinya saya musti mikir dua kali lagi. yaa allah beginilah nasib saya yg bodoh ini. mudah terombang ambing…
    oh ya mas admin..tulisan yg bagus begini kenapa tdk dibuatkan site resmi..biar lebh manstaap dan haqqul yakin lagi kami terhdap ke absahan ilmu mas admin
    yo paling ora orang bener musti berani muncul menampakkan diri. dan situs bermodal resmi begitu salah satu cara menurut sy mas. maaf mass menggurui wallahuaklam..
  5. bagaimana posisi tangan setelah iktidal
  6. Di sini ada kaum muslimin paling banyak antum mau mengikuti?
    Ikutilah rasululah ambillah sunnah-sunnahnya dan sunnah kulafaur rasyidin dan para sahabat. Bukan kepada kaum muslimin yang terbanyak pengikutnya.
    • pada 9 Oktober 2014 pada 7:09 am | Balasmutiarazuhud
      Permasalahannya bagaumana cara mengikuti Rasulullah tanpa mengikuti ulama yang mengikuti Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat
      Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS An Nisaa [4]:59)
      Bagaimanakah cara mentaati Allah dan RasulNya tanpa mentaati ulil amri?
      Apakah anda mengikuti Rasulullah dengan cara memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan salaf bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri ?
      Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
      Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
      Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
      Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
      Kalau dalam berijtihad dan beristinbat atau menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan
      Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
      Lalu siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
      Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
      Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
      Ibnu Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah.
      Begitupula dalam tafsir Ibnu Katsir QS An Nisa [4]:59 Juz 5 hal 271-272 Penerbit Sinar Baru Algensindo , Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ulil amri adalah ahli fiqih dan ahli agama. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ata, Al-Hasan Al-Basri dan Abul Aliyah, bahwa makna ulil amri adalah para ulama
      Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttps://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/04/08/kita-butuh-bermazhab/ bahwa setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah satu dari Imam Madzhab yang empat.
      Salah satu fitnah akhir zaman adalah orang-orang pada masa kini (khalaf) yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun pada kenyataannya tentu mereka tidak bertemu dengan Salafush Sholeh untuk mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh.
      Perlu kita ingat bahwa nama para Sahabat tercantum pada hadits pada umumnya sebagai perawi bukanlah menyampaikan pemahaman atau hasil ijtihad atau istinbat mereka melainkan para Sahabat sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
      Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya” (Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam lainnya).
      Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi (para Sahabat) yang sekedar menghafal dan menyampaikan saja tanpa memahami hadits yang dihafal dan disampaikannya.
      Jadi pendapat atau pemahaman para Sahabat tidak bisa didapatkan dari membaca hadits.
      Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak ada salah seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka (para Sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.”
      Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa ketika orang membaca hadits maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri bukan pendapat atau permahaman para Sahabat
      Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman para Sahabat berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits yang mereka baca. Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri. Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah pemahaman para Sahabat.
      Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah, mereka atas namakan kepada para Sahabat. Jika hasil ijtihad mereka salah, inilah yang namanya fitnah terhadap para Sahabat.
      Imam Mazhab yang empat walaupun mereka tidak maksum namun mereka diakui oleh jumhur ulama sejak dahulu kala sampai sekarang sebagai ulama yang berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga patut untuk dijadikan pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat bagi kaum muslim.
      Kelebihan lainnya, Imam Mazhab yang empat adalah masih bertemu dengan Salafush Sholeh.
      Contohnya Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena bertemu atau bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke Yaman, pindah ke Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah
      Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
      Jadi kalau kita ingin ittiba li Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau mengikuti Salafush Sholeh maka kita menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits”.
      Para ulama yang sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
      Jadi bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat adalah sebuah kebutuhan bagi kaum muslim yang tidak lagi bertemu dengan Rasulullah maupun Salafush Sholeh sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan padahttps://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/04/08/kita-butuh-bermazhab/
      Pada hakikatnya sangat sulit untuk memenuhi kompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak pada masa sekarang ini karena tidak lagi dapat bertemu dengan para perawi hadits atau Salafush Sholeh.
      Bahasa tulisan mempunyai keterbatasan dibandingkan dengan bertalaqqi, mendapatkan ilmu agama dengan bertemu atau mengaji.
      Sebagaimana tulisan ust Ahmad Zarkasih yang kami arsip padahttps://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/08/06/matang-sebelum-waktunya/ bahwa orang-orang yang salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran sendiri dapat menjadi liberal atau bahkan atheis. Berikut kutipannya
      ***** awal kutipan *****
      Memang wajar, bahkan sangat wajar sekali jika ada seseorang mempertanyakan adanya perbedaan pandangan. Tapi tidak wajar kalau mereka membawa-bawa label “Kembali pada Al Qur’an dan As Sunnah” kemudian meyalahkan para Imam Mujtahid, seakan-akan para Imam Mujtahid tidak mengerti isi ayat dan kandungan hadits.
      Justru para Imam Mujtahid orang yang paling mengerti madlul ayat dan hadits dibanding kita-kita yang masih berlabel “Muqollid”, bahkan dengan strata taqlid paling rendah.
      Mereka bilang “Saya tidak mau terpaku dengan ajaran orang tua dan guru saya. Saya mau mencari ajaran yang benar”. Hal ini yang membuat kita semakin khawatir. Dengan umur yang masih seperti itu, mereka begitu yakin untuk tidak ber-taqlid (ikuti) kepada yang memang seharusnya ia taqlid.
      Mereka menolak untuk menerima sepenuhnya apa yang ia dapatkan dari rumah, juga dari gurunya tapi mereka tidak punya pegangan untuk bisa berdiri dan menjadi sandaran sendiri.
      Akhirnya, yang dilakukan kembali mencari di jalanan, seperti dengan buka laptop, searching google dan akhirnya bertemu dengan ratusan bahkan ribuan hal yang sejatinya mereka belum siap menerimanya semua. Sampai saat ini kita masih tidak memandang google sebagai sumber pencarian ilmu yang valid dan aman. Mendatangi guru dan bermuwajahah dengan beliau itu yang diajarkan syariah dan jalan yang paling aman.
      Hal yang kita khawatirkan, nantinya mereka besar menjadi muslim yang membenci para imam mazhab dengan seluruh ijtihadnya. Dan kelompok pemuda semacam ini sudah kita temui banyak disekitar kita sekarang.
      Dengan dalih “Kembali kapada al-quran dan sunnah”, mereka dengan pongah berani mecemooh para imam, padahal apa yang dipermasalahkan itu memang benar-benar masalah yang sama sekali tidak berdampak negatif kalau kita berbeda didalamnya.
      Atau lebih parah lagi, ia menjadi orang yang anti dengan syariahnya sendiri. Karena sejak kecil sudah terlalu matang dengan banyak keraguan di sana sini.
      Seperti orang yang belum matang dengan agamanya sendiri tapi kemudian sudah belajar perbandingan agama. Ujung-ujungnya mereka jadi atheism, karena banyak kerancuan yang dia temui.
      Sama juga orang yang belum matang fiqih satu mazhab, kemudian mereka tiba-tiba belajar perbandingan mazhab. Satu mazhab belum beres, kemudian sudah dibanding-bandingkan. Ujung-ujungnya jadi Liberal, yang menganggap bahwa ijtihad itu terbuka untuk siapa saja dan dimana saja. Jadi sebebas-bebasnya lah mereka menafsirkan ini itu.
      ***** akhir kutipan *****
      Mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi
      Firman Allah ta’ala yang artinya,
      “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
      Mereka terhasut untuk membuang-buang waktu atau menyibukkan diri mengulang kembali apa yang telah dikerjakan dan dihasikan oleh Imam Mazhab yang empat namun mereka tidak berkompetensi sebagai mujtahid mutlak.
      Protokol Zionis yang ketujuhbelas
      …Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan…..
      Salah satu upaya mengdiskreditkan Imam Mazhab yang empat adalah menyalahgunakan perkataan atau pendapat Imam Mazhab yang empat yang jsutru untuk meninggalkan apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat.
      Mereka yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) meninggalkan Imam Mazhab yang empat dengan alasan seperti “kita harus mengikuti hadits shahih bukan mengikuti ulama.
      Mereka mengingatkan bahwa Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.
      Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.
      Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”
      Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” [“Majmu’ Syarh Al-Muhadzab” 1/105]
      Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“
      Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya padahttp://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/
      Mereka pada umumnya juga salah memahami pendapat seperti Imam Syaukani yang berkata: “Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya bertanya kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam tidak dikatagorikan sebagai Muqallid (pengikut)”.
      Mereka salah memahami perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang mampu mencapai tingkatan mujtahid mutlak
      Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan padahttp://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan Mesej