Whatsap Saya

Jawatan Kosong Kerajaan & Swasta Terkini 2020

koleksi kitab

Saturday, February 10, 2018

Bolehkah Kita Mencintai Orang Kafir

Bolehkah Kita Mencintai Orang Kafir ?
Diposting oleh Abu Al-Jauzaa' : di 01.42
Label: 'Aqidah


Tanya : Apakah ayat ”Allah tiada melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu” [QS. Al-Mumtahanah : 8]; bisa dijadikan alasan atau dalil bahwa kita diperbolehkan mencintai orang kafir ?
Jawab : Allah ta’ala berfirman :

لاّ يَنْهَاكُمُ اللّهُ عَنِ الّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرّوهُمْ وَتُقْسِطُوَاْ إِلَيْهِمْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ

”Allah tiada melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [QS. Al-Mumtahanah : 8].

Ayat di atas tidak mengandung pengertian kecintaan sama sekali kepada salah seorang kafir sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang. Akan tetapi ayat tersebut hanyalah merupakan rukhshash (keringanan) dari Allah dalam hal hubungan dan muamalah dengan orang-orang kafir secara baik dan penuh kebajikan, sebagai balasan atas kebaikan yang telah mereka lakukan kepada kita.
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :

هذه الآية رخصة من الله تعالى في صلة الذين لم يعادوا المؤمنين ولم يقاتلوهم. قال ابن زيد: كان هذا في أول الإسلام عند الموادعة وترك الأمر بالقتال ثم نسخ. قال قتادة: نسختها {فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ} وقيل: كان هذا الحكم لعلة وهو الصلح، فلما زال الصلح بفتح مكة نسخ الحكم وبقي الرسم يتلى

”Ayat ini merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah ta’ala dalam hal menjalin hubungan dengan orang-orang (kafir) yang tidak memusuhi dan memerangi orang-orang mukmin. Ibnu Zaid berkata : ’Sikap semacam ini terjadi di permulaan Islam saat perdamaian dan gencatan senjata, lalu dihapus’. Qatadah berkata : ’Ayat tersebut dihapus (mansukh) oleh ayat : ’Maka bunuhlah orang musyrik itu dimana saja kamu menjumpainya’ (QS. At-Taubah : 5)’. Dan dikatakan : ’Hukum (dalam ayat) ini berlaku karena ada sebab, yaitu perdamaian. Ketika hilang hukum perdamaian dengan adanya Fathu Makkah, maka terhapuslah hukumnya, dan tersisa bacaannya” [Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan, 18/59].

Dan yang benar bahwa hukum yang terkandung dalam ayat ini tetap berlaku (tidak terhapus secara mutlak)[1].
Berbuat baik kepada orang kafir dalam hal muamalah keduniaan tidaklah mengharuskan untuk menanamkan kecintaan kepada mereka dalam hati. Hal itu dikarenakan kecintaan mempunyai konsekuensi pembolehan untuk menjadikan mereka teman dekat, pemimpin, penolong, mempercayakan amanah kepada mereka, dan yang lainnya sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Perbuatan tersebut terlarang secara asal dalam Islam, berdasarkan firman Allah ta’ala :

لاّ يَتّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاّ أَن تَتّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً

”Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”. [QS. Aali ’Imraan : 28]
الّذِينَ يَتّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزّةَ فَإِنّ العِزّةَ للّهِ جَمِيعاً
”(Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”. [QS. An-Nisaa’ : 139]

Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

ثُمَّ اَلْبِرُّ وَالصِّلَة وَالْإِحْسَان لَا يَسْتَلْزِمُ التَّحَابُبَ وَالتَّوَادُدَ اَلْمَنْهِيَّ عَنْهُ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى : (لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاَللَّهِ وَالْيَوْم اَلْآخِر يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اَللَّه وَرَسُولَهُ) . اَلْآيَة فَإِنَّهَا عَامَّةٌ فِي حَقِّ مَنْ قَاتَلَ وَمَنْ لَمْ يُقَاتِلْ وَاَللَّه أَعْلَمُ.

”Kemudian, kebajikan, hubungan, dan kebaikan (yang kita lakukan kepada orang kafir) tidaklah mengharuskan adanya kecintaan dan kasih sayang yang dilarang oleh Allah untuk dilakukan sebagaimana terdapat dalam firman Allah ta’ala : ‘Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Mujaadilah : 22). Ayat ini bersifat umum, berlaku bagi setiap orang kafir yang memerangi maupun tidak memerangi. Wallaahu a’lam” [Fathul-Baariy, 5/233].

Asy-Syaikh ’Abdul-’Aziz bin Baaz rahimahullah berkata :

معنى الآية المذكورة عند أهل العلم: الرخصة في الإحسان إلى الكفار , والصدقة عليهم إذا كانوا مسالمين لنا, بموجب عهد أو أمان أو ذمة, وقد صح في السنة ما يدل على ذلك, كما ثبت في الصحيح أن أم أسماء بنت أبي بكر قدمت عليها في المدينة في عهد النبي صلى الله عليه وسلم وهي مشركة تريد الدنيا, فأمر النبي صلى الله عليه وسلم أسماء أن تصل أمها, وذلك في مدة الهدنة التي وقعت بين النبي صلى الله عليه وسلم وبين أهل مكة , وصح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أعطى عمر جبة من حرير, فأهداها إلى أخ له بمكة مشرك, فهذا وأشباهه من الإحسان الذي قد يكون سببا في الدخول في الإسلام, والرغبة فيه, وإيثاره على ما سواه, وفي ذلك صلة للرحم, وجود على المحتاجين, وذلك ينفع المسلمين ولا يضرهم, وليس من موالاة الكفار في شيء كما لا يخفى على ذوي الألباب والأبصار.

”Makna ayat tersebut[2] menurut para ulama adalah : keringanan dalam hal berbuat baik kepada orang-orang kafir dan memberi sedekah kepada mereka jika mereka menyerah kepada kita dengan menggunakan perjanjian atau jaminan atau dzimmah (suaka politik), dan ada shahih dalam sunnah yang menunjukkan hal tersebut. Sebagaimana yang ditetapkan dalam kitab Ash-Shahiih bahwa ibu Asmaa’ bintu Abi Bakr pernah mendatangi Asmaa’ di Madinah pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam, padahal ibunya itu seorang musyrik yang menginginkan dunia. Maka Nabi memerintahkan Asmaa’ untuk menjalin hubungan dengannya[3], dan itu berlangsung selama masa perdamaian yang terjadi antara Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam dengan penduduk Makkah. Dan telah shahih dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau pernah memberi jubah sutera kepada ’Umar, lalu ’Umar menghadiahkannya kepada saudaranya di Makkah yang masih musyrik.[4] Hal itu dan juga contoh-contoh kebaikan lain yang serupa merupakan salah satu bentuk yang tidak jarang menjadi sebab masuknya orang ke dalam agama Islam atau mencitrakan baik pada Islam serta pengutamaan Islam atas yang lainnya. Dan hubungan seperti itu hanya sekedar hubungan nasab yang memberikan manfaat kepada kaum muslimin dan tidak memberikan mudlarat kepada mereka. Dan bukan pula termasuk sama sekali dalam pengertian wala’ (loyalitas) terhadap orang-orang kafir, sebagaimana hal itu sudah tidak asing lagi bagi orang-orang yang berakal” [Majmuu Fataawaa wa Maqaalaat Ibni Baaz, 1/302-303].

Itulah keluasan dan keadilan Islam. Keluasan dalam arti bahwa Islam tidak melarang kaum muslimin untuk bermuamalah dengan kaum kuffar yang tidak memerangi kaum muslimin; baik dalam hubungan silaturahim dengan anggota keluarga, jual-beli, dan yang lainnya. Keadilan dalam arti bahwa Islam melarang kaum muslimin untuk berbuat segala macam kedhaliman kepada mereka yang tidak berbuat dhalim kepada kita, dan membalas segala kebaikan yang telah mereka lakukan pada kita (dalam batas-batas syari’at). Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam telah bersabda :

إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا
وَلُوا

”Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil berada di sisi Allah di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla, dan kedua tangan Allah adalah kanan. Yaitu, orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1827].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.

[Abul-Jauzaa’ - perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor - 16071434/26052013 – 01:39].


[1] Yaitu bolehnya bermuamalah dan berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memusuhi kaum muslimin atau terikat perjanjian dengan kaum muslimin.

[2] Yaitu firman Allah ta’ala :
لاّ يَنْهَاكُمُ اللّهُ عَنِ الّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرّوهُمْ وَتُقْسِطُوَاْ إِلَيْهِمْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
”Allah tiada melarangmu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [QS. Al-Mumtahanah : 8].

[3] Hadits yang dimaksud adalah :

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَتْ: " قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ: وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ "

Dari Asmaa’ bintu Abi Bakr radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Ibuku pernah datang menemuiku yang waktu itu ia masih dalam keadaan musyrik (kafir) di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku pun meminta fatwa kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata : “Ibuku (datang menemuiku) dalam keadaan berharap kebaikanku (kepadanya). Apakah aku boleh menyambung hubungan dengan ibuku?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Iya, sambunglah hubungan dengan ibumu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2620].

[4] Hadits yang dimaksud adalah :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَأَى حُلَّةً سِيَرَاءَ عِنْدَ بَابِ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوِ اشْتَرَيْتَ هَذِهِ فَلَبِسْتَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلِلْوَفْدِ إِذَا قَدِمُوا عَلَيْكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فِي الْآخِرَةِ، ثُمَّ جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا حُلَلٌ فَأَعْطَى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْهَا حُلَّةً، فَقَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَوْتَنِيهَا وَقَدْ قُلْتَ فِي حُلَّةِ عُطَارِدٍ مَا قُلْتَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي لَمْ أَكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا فَكَسَاهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخًا لَهُ بِمَكَّةَ مُشْرِكًا "

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar : Bahwasannya ‘Umar bin All-Khaththab melihat sebuah pakaian bergaris (yang dijual) di dekat pintu masjid. Ia berkata : “Wahai Rasululah, jika engkau membeli baju ini lalu engkau pakai di hari Jum’at dan untuk menerima utusan jika mereka datang menemuimu”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang yang mengenakan pakaian ini hanyalah orang yang tidak mendapatkan bagiannya di akhirat”. Kemudian (setelah beberapa saat), Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam diberi pakaian yang sama dan memberikannya kepada ‘Umar bin Al-Khaththab. Lalu ‘Umar berkata : “Wahai Rasulullah, apakah engkau menyuruhku untuk memakainya, padahal engkau telah mengatakan dengan apa yang dulu pernah engkau katakan kepadaku”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Aku memberimu bukanlah dengan tujuan agar engkau memakainya”. Maka ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu (menerimanya dan) memberikannya kepada salah seorang saudaranya yang masih musyrik di Mekkah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 886].

Tegas Terhadap Orang Kafir

Sikap tegas yang dimaksud di sini adalah tegas memegang prinsip di dalam masalah aqidah atau keimanan saat berhadapan dengan orang-orang kafir. Sesungguhnya bukan pada orang kafirnya, namun bentuk kekafiran itulah yang menjadi alasan sikap tegas itu perlu ditegakkan. Ini dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat.

Selama orang-orang kafir itu tidak memerangi kaum muslimin, mereka harus dilindungi. Namun sebaliknya, apabila mereka memeranginya atau semakin menjadi dalam kekafirannya, umat Islam harus bersikap tegas sebagaimana yang ditunjukkan Rasulullah Saw dan para sahabatnya kepada bangsa Yahudi yang memerangi kaum muslimin.

Sikap keras ini dimaksudkan sebagai alat yang digunakan untuk menghadapi para penguasa lalim, orang-orang yang sombong, munafik, dan musuh-musuh agama. Kita tidak dituntut untuk berlaku lembut bagi para penguasa lalim dan orang-orang kafir yang memusuhi umat Islam. Allah SWT telah menegaskannya dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 73, “Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.“

Sikap tegas dan keras bukan berarti menganiaya mereka, dan juga bukan hanya terbatas dalam bentuk perang. Keras dan tegas juga dapat tercermin dalam sikap tidak berkompromi bila mengakibatkan terabaikannya prinsip ajaran agama. Para penguasa yang sengaja merusak dan menodai Islam melalui kebijakan yang dibuatnya tidak boleh didukung. Bahkan mereka harus diperingatkan dan ditegur.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu berkawan dengan orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.“ (Al-Mumthahanah [60] : 8-9).

Di antara pilar utama dien ini, asas dan kerangkanya yang agung adalah kewajiban saling berkasih sayang dan saling perhatian terhadap sesama muslim. Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitakan tentang sifat kaum mukminin,

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain." (QS. Al-Taubah: 71)

Saat Allah 'Azza wa Jalla memuji umat terbaik sesudah para nabi, yakni para sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, Dia menyebutkan sifat dan karakteristik mereka yang istimewa, yaitu saling berkasih sayang antara sesama mereka. Allah 'Azza wa Jalla berfirman:

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, . . ." (QS. Al-Fath: 29)

Catatan penting yang harus diperhatikan dalam ayat di atas, Allah mendahulukan sifat saling berkasih sayang antar sesama mereka daripada ibadah, tahajjud, dan mencari ridha Allah. Bahkan Allah 'Azza wa Jalla dalam ayat lain menerangkan, pondasi hubungan seorang muslim dengan saudara muslimnya yang lain adalah hubungan suci dan mulia yang tidak didapatkan dalam hubungan manusia yang lain. Allah Ta'ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ

"Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela." (QS. Al-Maidah: 54)

Ciri utama kaum yang dicintai oleh Allah dalam ayat di atas adalah, "yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela".

Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat di atas, "Inilah sifat orang-orang mukmin yang sempurna (imannya), satu dari mereka berlemah lembut kepada saudaranya dan pemimpinnya, bersikap keras terhadap musuhnya.

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka." (QS. Al-Fath: 29)

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam disifati dengan al-Dhahuk al-Qital, maknanya beliau tertawa kepada kawan-kawannya dan memerangi terhadap para musuhnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan, hubungan seorang muslim dengan muslim lainnya adalah persaudaraan karena iman. Allah 'Azza wa Jalla berfirman, "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara." (QS. Al-Hujurat: 10)

Nikmat teragung yang Allah berikan kepada generasi terbaik, yakni generasi sahabat adalah nikmat ukhuwah imaniyah (persaudaraan seiman), "Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara." (QS. Ali Imran: 103)

Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal kasih sayang, kecintaan dan kelemah-lembutan diantara mereka adalah bagaikan satu tubuh, apabila ada satu anggotanya yang sakit maka seluruh tubuh juga merasakan demam dan tidak bisa tidur.” (Muttafaqun ‘Alaih dari al-Nu’man bin Basyir)

Dari Abu Musa radliyallaahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

“Orang mukmin dengan mukmin lainnya laksana satu bangunan, satu dengan yang lainnya saling menguatkan.” Lalu beliau shallallaahu 'alaihi wasallam lalu beliau menautkan jari-jemarinya. (Muttafaq ‘alaih)

Oleh sebab itu, syariat Islam mengharamkan segala tindakan yang berseberangan dengan persaudaraan dan kasih sayang antar sesama muslim ini dan juga setiap tindakan yang bisa merusak persatuan umat ini. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah mengumumkan manhaj ini saat haji akbar dipenghujung hayatnya.

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ

"Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan kehormatan-kehormatan kalian adalah haram atas sesama kalian." (Muttafaqun’alaih)

Keharaman tersebut berdasarkan nash Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam secara jelas yang tak boleh dirubah, ditakwilkan, dan diselewengkan. Siapa yang meyakini halalnya darah kaum muslimin daqn merusak kehormatan mereka, maka berarti dia telah mengharamkan sesuatu yang sudah sangat maklum dari urusan dien ini tentang keharamannya. Orang tersebut terkategori sebagai orang yang mendustakan al-Kitab dan sunnah mutawatir.

http://abul-jauzaa.blogspot.my/2013/05/bolehkah-kita-mencintai-orang-kafir.html

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan Mesej