Adab Terhadap Ulama
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Bachtiar Nasir
Sebab awal timbulnya kesyirikan di muka bumi adalah pemujaan berlebihan pada orang atau agamawan yang saleh, sebagaimana terjadi pada kaum Nuh as dan ahli kitab masa lalu. Sikap ini tentu terlarang dalam Islam.
Allah SWT berfirman, “Katakanlah, hai ahli k tab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad), mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS al- Maidah [5]: 77).
Rasulullah menegaskan dalam hadisnya. Rasulullah bersabda kepadaku menjelang waktu melontar jumrah Aqabah sedangkan beliau berada di atas untanya. “Ambilkanlah batu kerikil untukku,” maka aku mengambilkan tujuh batu kerikil yang kecil baginya untuk melempar. Ketika beliau meletakkan batu kerikil itu di tangannya, beliau bersabda, “Benar, lemparlah dengan batu seperti ini.” Kemudian, beliau bersabda, “Jauhilah sikap berlebih-lebihan dalam beragama karena sesungguhnya umat-umat terdahulu binasa kerana sikap berlebih-lebihan dalam beragama.” (HR Ibnu Majah).
Seseorang dikatakan sebagai ulama disebabkan oleh rasa takutnya pada Allah karena ilmu dan kedalaman hikmahnya. Derajat mereka ditinggikan Allah sebelum dimuliakan manusia. Allah berfirman, “Niscaya Allah meninggikan orang beriman di antaramu dan orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujadalah [58]: 11).
Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS al-Zumar [39]: 9). Rasul menegaskan, status dan peran ulama itu adalah pewaris para nabi dalam menyampaikan ilmu dan ajaran agama ke pada semua manusia setelah berakhirnya pengutusan para nabi dan rasul.
“Barangsiapa menempuh suatu jalan yang padanya dia mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan dia menempuh jalan dari jalan-jalan (me nuju) jannah, dan sesungguhnya para ma laikat benar-benar akan meletakkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampun untuknya oleh makhluk-makhluk Allah yang di langit dan yang di bumi, sampai ikan yang ada di tengah lautan pun memintakan ampun untuknya. Dan sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu atas seorang yang ahli ibadah ada lah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh bintang, dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya dia telah meng ambil bagian yang sangat banyak.”(HR Tirmizi, Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).
Bersikap objektiflah sebagaimana Rasul memuliakan ulama dan tidak menjelekkan atau merendahkannya. Diriwayatkan dari Ubadah bin al-Shamit, Rasul bersabda, “Bukanlah dari golongan umatku orang yang tidak menghormati orang lebih besar di antara ka mi, tidak menyayangi anak kecil kami, dan tidak mengetahui hak ulama kami.” (HR Ahmad dan Thabrani).
Bahkan, Allah menjelaskan bahwa menjelek-jelekkan, mengolok-olok, dan merendahkan orang beriman itu salah satu perbuatan dan kebiasaan orang kafir dan munafik. “Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal, orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka pada hari kiamat. Dan, Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS al-Baqarah [2]: 212).
Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka aku umumkan perang kepada mereka.’” Yang dimaksud dengan wali Allah di sini adalah orang alim yang selalu taat dan ikhlas dalam beribadah. Imam Syafii menjelaskan, jika para ulama itu bukanlah wali-wali Allah, maka tidak ada wali Allah di muka bumi ini.
Ikrimah seorang tabi’in mengatakan, “Janganlah kamu menyakiti seorang ulama karena barangsiapa menyakitinya, berarti dia telah menyakiti Rasulullah. Sebab, kedudukan ulama se bagai pewaris ilmu para nabi untuk disampaikan kepada umat hingga hari kiamat nanti. Etika yang baik dalam mendebat ulama adalah mendebat dengan retorika yang diajarkan Allah.
Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (QS al- Ba qarah [2]: 111). Adapun kriteria ulama yang mendapatkan tempat untuk dihormati adalah ulama yang takut kepada Allah dengan ilmunya dan mereka ikhlas dalam melanjutkan risalah kenabian. Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS Fathir [35]: 28). Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS Yasin [36]: 21).
“Barangsiapa yang mempelajari ilmu dari ilmu-ilmu yang (semestinya) dipelajari hanya karena wajah Allah, namun ia mempelajarinya untuk mendapatkan tujuan keduniaan, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat (kelak)”. (HR. Ibnu Majah dan Abu Daud). Wallahu a’lam bish shawab.
Rasulullah menegaskan dalam hadisnya. Rasulullah bersabda kepadaku menjelang waktu melontar jumrah Aqabah sedangkan beliau berada di atas untanya. “Ambilkanlah batu kerikil untukku,” maka aku mengambilkan tujuh batu kerikil yang kecil baginya untuk melempar. Ketika beliau meletakkan batu kerikil itu di tangannya, beliau bersabda, “Benar, lemparlah dengan batu seperti ini.” Kemudian, beliau bersabda, “Jauhilah sikap berlebih-lebihan dalam beragama karena sesungguhnya umat-umat terdahulu binasa kerana sikap berlebih-lebihan dalam beragama.” (HR Ibnu Majah).
Seseorang dikatakan sebagai ulama disebabkan oleh rasa takutnya pada Allah karena ilmu dan kedalaman hikmahnya. Derajat mereka ditinggikan Allah sebelum dimuliakan manusia. Allah berfirman, “Niscaya Allah meninggikan orang beriman di antaramu dan orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujadalah [58]: 11).
Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS al-Zumar [39]: 9). Rasul menegaskan, status dan peran ulama itu adalah pewaris para nabi dalam menyampaikan ilmu dan ajaran agama ke pada semua manusia setelah berakhirnya pengutusan para nabi dan rasul.
“Barangsiapa menempuh suatu jalan yang padanya dia mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan dia menempuh jalan dari jalan-jalan (me nuju) jannah, dan sesungguhnya para ma laikat benar-benar akan meletakkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampun untuknya oleh makhluk-makhluk Allah yang di langit dan yang di bumi, sampai ikan yang ada di tengah lautan pun memintakan ampun untuknya. Dan sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu atas seorang yang ahli ibadah ada lah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh bintang, dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya dia telah meng ambil bagian yang sangat banyak.”(HR Tirmizi, Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).
Bersikap objektiflah sebagaimana Rasul memuliakan ulama dan tidak menjelekkan atau merendahkannya. Diriwayatkan dari Ubadah bin al-Shamit, Rasul bersabda, “Bukanlah dari golongan umatku orang yang tidak menghormati orang lebih besar di antara ka mi, tidak menyayangi anak kecil kami, dan tidak mengetahui hak ulama kami.” (HR Ahmad dan Thabrani).
Bahkan, Allah menjelaskan bahwa menjelek-jelekkan, mengolok-olok, dan merendahkan orang beriman itu salah satu perbuatan dan kebiasaan orang kafir dan munafik. “Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal, orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka pada hari kiamat. Dan, Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS al-Baqarah [2]: 212).
Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka aku umumkan perang kepada mereka.’” Yang dimaksud dengan wali Allah di sini adalah orang alim yang selalu taat dan ikhlas dalam beribadah. Imam Syafii menjelaskan, jika para ulama itu bukanlah wali-wali Allah, maka tidak ada wali Allah di muka bumi ini.
Ikrimah seorang tabi’in mengatakan, “Janganlah kamu menyakiti seorang ulama karena barangsiapa menyakitinya, berarti dia telah menyakiti Rasulullah. Sebab, kedudukan ulama se bagai pewaris ilmu para nabi untuk disampaikan kepada umat hingga hari kiamat nanti. Etika yang baik dalam mendebat ulama adalah mendebat dengan retorika yang diajarkan Allah.
Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (QS al- Ba qarah [2]: 111). Adapun kriteria ulama yang mendapatkan tempat untuk dihormati adalah ulama yang takut kepada Allah dengan ilmunya dan mereka ikhlas dalam melanjutkan risalah kenabian. Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS Fathir [35]: 28). Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS Yasin [36]: 21).
“Barangsiapa yang mempelajari ilmu dari ilmu-ilmu yang (semestinya) dipelajari hanya karena wajah Allah, namun ia mempelajarinya untuk mendapatkan tujuan keduniaan, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat (kelak)”. (HR. Ibnu Majah dan Abu Daud). Wallahu a’lam bish shawab.
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan Mesej