Whatsap Saya

Jawatan Kosong Kerajaan & Swasta Terkini 2020

koleksi kitab

Saturday, February 28, 2015

SIKAP DAN ADAB TERHADAP ULAMA

SIKAP DAN ADAB TERHADAP ULAMA

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. Wb,
Ustadz, kalau kita lihat sekarang ini, sebagian besar umat Islam di negeri ini tidak lagi menghargai para ulama dan menganggap penting fatwa-fatwa yang dikeluarkannya dalam menjalani hidup ini. Malah oleh media massa kita sebagian fatwa yang dikeluarkan MUI atau salah seorang ulama kita dijadikan bahan ejekan dan olokan dengan meminta tanggapan artis atau pengamat tentang fatwa tersebut, padahal mereka sama sekali tidak tahu dasar atau dalil dari fatwa tersebut. Tetapi di lain pihak, hal itu juga disebabkan oleh perilaku sebagian tokoh yang ditengah masyarakat dianggap sebagai ulama, kiyai dan ustadz yang tidak memcerminkan sikap sebagai orang yang seharusnya menjadi contoh tauladan bagi orang di sekelilingnya. Bagaimana kita seharusnya menyikapi hal ini ustadz? Mohon bimbingannya.
Hamba Allah.
Jawab:
Wa’alaikumsalam wr. Wb,
Kalau melihat umat Islam di negara kita sekarang ini, maka kita dapat mengelompokkannya kepada dua kelompok. Pertama, ada yang sangat dan terlalu fanatik kepada kiyai atau ustadznya sehingga ia hanya taqlid buta (mengikuti saja apa kata kiyai atau ustadznya tanpa ada lagi sikap kritis dan melihat kuat atau tidak dalilnya) dan tidak mau lagi mendengarkan dan menerima pendapat kiyai atau ustadz lain yang bertentangan dengan pendapat kiyainya. Sehingga apapun kata kiyai atau ustadznya, baik itu benar berdasarkan al-Qur`an dan Sunnah Nabi SAW ataupun salah bahkan bisa jadi itu suatu kesesatan maka mereka tetap mengikutinya karena itu kata kiyai atau ustadznya.
Kedua, sebagian yang lain, sebagaimana yang saudara sebutkan, mereka sama sekali tidak menganggap pengajaran atau fatwa kiyai dan para ulama sehingga menganggap fatwa itu sama dengan ucapan dan omongan politisi, pengamat atau artis. Bahkan jika ada fatwa ulama tentang suatu masalah maka yang dimintai pendapat tentang fatwa itu bukannya ulama lagi tapi pengamat atau artis yang tidak ada dasar ilmu agamanya dan tidak mengetahui dasar dan dalil dikeluarkannya fatwa tersebut.
Tentunya kedua sikap yang saling bertentangan itu adalah sikap tercela yang tidak diajarkan oleh Islam kepada umatnya karena Islam adalah agama yang sesuai fitrah manusia yang sangat membenci sikap berlebih-lebihan dalam beragama. Dan tentu saja Islam melarang umatnya untuk lalai dalam melaksanakan kewajibannya dalam beribadah kepada Allah SWT dan tidak mengamalkan Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Allah SWT. berfirman:
 قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ‌ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِن قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرً‌ا وَضَلُّوا عَن سَوَاءِ السَّبِيلِ
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus”. (QS. Al-Maidah [5]: 77).
Dan Rasulullah SAW. juga menegaskan dalam haditsnya:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ  ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ الْعَقَبَةِ وَهُوَ عَلَى نَاقَتِهِ : الْقُطْ لِي حَصًى ، فَلَقَطْتُ لَهُ سَبْعَ حَصَيَاتٍ ، هُنَّ حَصَى الْخَذْفِ ، فَجَعَلَ يَنْفُضُهُنَّ فِي كَفِّهِ ، وَيَقُولُ : أَمْثَالَ هَؤُلَاءِ فَارْمُوا ” ، ثُمَّ قَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ ، فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ
Rasulullah bersabda kepadaku sempena melontar jumrah Aqabah, sedangkan beliau berada di atas untanya: “Ambilkanlah batu kerikil untukku”, maka aku mengambilkan tujuh batu kerikil yang kecil baginya untuk melempar. Apabila beliau meletakkan batu kerikil itu di tanganya, beliau bersabda: “Benar, lemparlah dengan batu seperti ini. Kemudian, beliau bersabda: Jauhilah sikap berlebih-lebihan dalam beragama kerana sesungguhnya umat-umat terdahulu binasa kerana sikap berlebih-lebihan dalam beragama. (HR. Ibnu Majah).
Allah SWT. dan Rasul-Nya telah mengajarkan kepada umatnya bagaimana seharusnya sikap mereka kepada para ulama. Allah SWT. menegaskan bahwa Dia akan meninggikan derajat orang beriman dan yang diberikan-Nya ilmu, yaitu para ulama.
يَرْ‌فَعِ اللَّـهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَ‌جَاتٍ ۚ وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ‌
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadalah [58]: 11).
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ‌ أُولُو الْأَلْبَابِ
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (QS. Al-Zumar [39]: 9).
Dan Rasulullah SAW. menegaskan bahwa ulama itu adalah pewaris para nabi dalam menyampaikan ilmu dan ajaran agama kepada generasi-generasi yang akan datang karena telah berakhirnya pengutusan para nabi dan rasul.
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا، سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ، وَالْحِيْتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Barangsiapa menempuh suatu jalan yang padanya dia mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan dia menempuh jalan dari jalan-jalan (menuju) jannah, dan sesungguhnya para malaikat benar-benar akan meletakkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu, dan sesungguhnya seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampun untuknya oleh makhluk-makhluk Allah yang di langit dan yang di bumi, sampai ikan yang ada di tengah lautan pun memintakan ampun untuknya. Dan sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu atas seorang yang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh bintang, dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka hanyalah mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya maka sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat banyak.”(HR. Tirmizi, Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).
Karena itu sebagai umat yang diajarkan untuk selalu memperhatikan adab dan perilaku dalam berinteraksi dengan siapapun, maka seharusnya umat Islam harus menghormati dan memuliakan para ulamanya yang telah mengajarkan dan membimbing mereka untuk tetap berada di jalan Allah dan tidak tergelincir mengikuti anjuran dan godaan setan serta menjadi tempat bertanya tentang hukum Allah SWT., sebagaimana Allah SWT. Rasul-nya memuliakan para ulama. Dan tidak menjelek-jelekan, menghina, mencaci-maki atau merendahkan mereka. Rasulullah SAW. menegaskan dalam sabdanya:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ  ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا ، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا ، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ. رواه أحمد والطبرانى
Diriwayatkan dari ‘Ubadah bin al-Shamit bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: “Bukanlah dari golongan umatku orang yang tidak menghormati orang yang lebih besar di antara kami, tidak menyayangi anak kecil kami, dan tidak mengetahui hak ulama kami.” (HR. Ahmad dan Thabrani).
Bahkan Allah SWT. menjelaskan bahwa menjelek-jelekkan, mengolok-olok dan merendahkan orang beriman itu salah satu perbuatan dan kebiasaan orang kafir dan munafik. Allah SWT. berfirman:
زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُ‌وا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُ‌ونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا ۘ وَالَّذِينَ اتَّقَوْا فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَاللَّـهُ يَرْ‌زُقُ مَن يَشَاءُ بِغَيْرِ‌ حِسَابٍ
Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. (QS. Al-Baqarah [2]: 212).
زُيِّنَ لِلَّذِينَ كَفَرُ‌وا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُ‌ونَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا ۘ وَالَّذِينَ اتَّقَوْا فَوْقَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ وَاللَّـهُ يَرْ‌زُقُ مَن يَشَاءُ بِغَيْرِ‌ حِسَابٍ
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”. (QS. Al-Baqarah [2]: 14).
Bahkan dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah SAW. bersabda:
إِنَّ اللَّهَ قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
Sesungguhnya Allah berfirman: “Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka aku umumkan perang ke atasnya.”
Yang dimaksud dengan wali Allah disini adalah seorang alim yang selalu taat dan ikhlas dalam beribadah kepada Allah SWT. Imam Syafi’i menjelaskan jika para ulama itu bukanlah wali-wali Allah maka tidak ada wali Allah di muka bumi ini.
‘Ikrimah seorang tabi’in mengatakan, “janganlah kamu menyakiti seorang ulama karena barangsiapa menyakiti seorang ulama berarti dia telah menyakiti Rasulullah SAW.” Hal itu tentu karena kedudukan ulama sebagai pewaris ilmu para nabi untuk disampaikan kepada umat hingga hari kiamat nanti.
Bahkan ada suatu ungkapan yang masyhur dari seorang ulama terkenal Ibnu ‘Asakir, “Ketahuilah, bahwa daging–daging ulama itu beracun, dan sudah diketahui akan kebiasaan Allah dalam membongkar tirai orang-orang yang meremehkan atau merendahkan mereka, dan sesungguhnya barang siapa yang melepaskan lidahnya untuk mencela ulama maka Allah akan mengujinya dengan kematian hati sebelum ia mati.
Ulama lain, yaitu al-Hasan bin dzakwan juga mengatakan, “janganlah kamu menyebutkan kejelekan ulama karena Allah akan mematikan hatimu”.
Maksudnya jangan sampai kita umat Islam ini menghina, merendahkan atau bahkan mencaci maki ulama baik yang sekarang mahupun ulama-ulama besar terdahulu yang telah mengajarkan dan menyampaikan ilmu tentang al-Qur`an dan Sunnah Nabi SAW. kepada kita.
Tetapi sebagai umat yang mottonya adalah:
قُلْ هَاتُوا بُرْ‌هَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (QS. Al-Baqarah [2]: 111).
Tentu kita harus melihat dulu sifat, akhlak dan keilmuan ulama yang menjadi ikutan kita karena sebagaimana yang Allah SWT. ajarkan, ulama itu adalah hamba yang paling takut kepada Allah SWT., tidak mengajak atau membiarkan orang banyak mengkultuskannya, mengamalkan ilmunya dan tidak mengharapkan kesenangan duniawi dari ilmunya.
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّـهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّـهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ‌
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Fathir [35]: 28).
مَا كَانَ لِبَشَرٍ‌ أَن يُؤْتِيَهُ اللَّـهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِّي مِن دُونِ اللَّـهِ وَلَـٰكِن كُونُوا رَ‌بَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُ‌سُونَ
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (QS. Ali ‘Imran [3]: 79).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ ﴿٢ ﴾ كَبُرَ‌ مَقْتًا عِندَ اللَّـهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Al-Shaf [61]: 3).
اتَّبِعُوا مَن لَّا يَسْأَلُكُمْ أَجْرً‌ا وَهُم مُّهْتَدُونَ
Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Yasin [36]: 21).
Oleh karena itu kita tidak boleh terlalu fanatik terhadap seorang kiyai atau ustadz sehingga tidak mau mendengar pengajaran atau fatwa dari ustadz lainnya, tapi kita harus mengikuti pendapat dan fatwa ulama dengan melihat kedalaman ilmunya, tidak menyalahi al-Qur`an dan Sunnah Nabi SAW., sifat dan akhlaknya sesuai dengan kedalaman ilmunya serta tidak mengejar harta dan kesenangan duniawi dengan ilmunya tersebut. Rasulullah SAW. menjelaskan dalam haditsnya:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ  عز وجل لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلاَّ لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Barangsiapa yang mempelajari ilmu dari ilmu-ilmu yang (semestinya) dipelajari hanya karena wajah Allah, namun ia mempelajarinya untuk mendapatkan tujuan keduniaan, maka ia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat (kelak)”. (HR. Ibnu Majah dan Abu Daud).
Wallahu a’lam bish shawab..
http://aqlislamiccenter.com/2014/08/12/sikap-dan-adab-terhadap-ulama/

No comments:

Post a Comment

Tinggalkan Mesej